Tampilkan postingan dengan label tafsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tafsir. Tampilkan semua postingan

21 Februari, 2022

Tafsir,Al Qur'an Faedah Surat An-Nuur #45: Anak Meminta Izin ketika Masuk Kamar Orang Tua

Tafsir,Al Qur'an
Tafsir,Al Qur'an
Faedah Surat An-Nuur #45: Anak Meminta Izin ketika Masuk Kamar Orang Tua
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Islam mengajarkan adab yang luar biasa yaitu sedari kecil saja anak yang sudah tamyiz diajarkan meminta izin kepada orang tua ketika masuk kamar.

  1. 1- Tafsir Surah An-Nur 58-59
  2. 2- Penjelasan ayat
  3. 3- Penjelasan ayat
  4. 4  Refrensi

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ۚ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ۚ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ ۚ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat Shubuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana..” (QS. An-Nuur: 58-59)

Penjelasan ayat

Dalam Tafsir Al-Mukhtashar disebutkan:

“Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan beramal dengan syariat-Nya, hendaknya hamba sahaya lelaki dan wanita yang kalian miliki, serta anak-anak merdeka yang belum mencapai usia dewasa atau balig di antara kalian meminta izin kepada kalian dalam tiga waktu (dalam sehari) yaitu: sebelum salat subuh yang merupakan waktu pergantian pakaian tidur dengan pakaian biasa; ketika waktu tengah hari yang merupakan waktu menanggalkan pakaian luarmu untuk beristirahat siang; dan sesudah salat isya yang merupakan waktu tidur dan waktu mengganti pakaian biasa dengan pakaian tidur.

Tiga waktu ini merupakan tiga aurat bagi kalian, mereka tidak ada yang boleh masuk kamar kalian kecuali atas izin kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak pula atas mereka bila mereka memasuki ruangan kalian selain dari tiga waktu itu tanpa izin. Mereka banyak melayani kalian, sebagian kalian punya keperluan kepada sebagian yang lain sehingga sangat susah bila mereka dilarang untuk menemui kalian di setiap waktu dengan izin dahulu. Sebagaimana Allah menjelaskan kepada kalian hukum-hukum perizinan ini bagi kalian, maka Dia juga menjelaskan ayat-ayat yang menunjukkan hukum-hukum syariat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui maslahat hamba-hamba-Nya, lagi Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum-hukum syariat bagi mereka.

Dan apabila anak-anak kecil dari kalian telah mencapai usia baligh dan masa mukallaf untuk mengemban kewajiban hukum-hukum syariat, maka mereka harus meminta izin bila akan masuk di seluruh waktu, sebagaimana orang-orang dewasa meminta izin dahulu. Dan sebagaimana Alllah telah menjelaskan adab-adab meminta izin, Allah juga menjelaskan ayat-ayatNya kepada kalian. Dan Allah Maha mengetahui hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan hamba-hambaNya, lagi Mahabijaksana dalam penetapan syariatNya.

Faedah ayat

  1. 1. Dalam ayat 58 di sebutkan bahwa hendaklah dua golongan meminta izin yaitu anak kecil yang belum baligh dan budak dalam dalam tiga waktu disebutkan; (1- Dalam ayat 58 disebutkan bahwa hendaklah dua golongan meminta izin yaitu anak kecil yang belum baligh dan budak dalam tiga waktu yang disebutkan: (1) sebelum shalat Shubuh, (2) ketika menanggalkan pakaian luar di tengah hari, (3) sesudah shalat Isyak. Untuk selain anak-anak dan budak, hendaklah meminta izin setiap kali masuk.
  2. 2. Ayat ini menunjukan tidak boleh melihat aurat. Jika wajib meminta izin dalam tiga waktu karena khawatir aurat terlihat begitu saja secara tiba-tiba, maka tentu yang melihat aurat secara sengaja tidaklah dibolehkan. Hal ini dilarang baik yang melihat aurat adalah anak kecil maupun orang dewasa.
  3. 3 Yang dimaksud anak kecil yang meminta izin di atas adalah anak keci yang sudah tamyiz, seadangkan anak kecil yang belum tamyiz belum mengetahui apa.
  4. 4 Boleh melepas baju saat tidur. 
  5. 5 Biasanya tidur siang itu ringkas sehingga tidak melepas pakaian, beda dengan tidur malam.
  6. 6 Anak yang sudah balogh dikenakan hukum. Tanda baligh adalah: (1) keluar mani (ihtilam), (2) datang haidh, (3) usia 15 tahun.
  7. 7 Tiga waktu yang disebutkan adalah waktu yang umumnya aurat terbuka.
  8. 8 Anak-anak dibagi menjadi tiga: (1) anak yang belum tamyiz. tidak mengetahui apa-apa, mereka tidak harus minta izin, (2) anak yang sudah tamyiz harus meminta izin pada tiga waktu, (3) anak yang sudah baligh harus meminta izin setiap waktu.
  9. 9 Ada njuran tidur siang (qailulah).
  10. 10 Saudara laki-laki hendaklah meminta izin ketika ingin memasuku kamar saudara perempuanya.

  • At-Tashil li Ta'wil At-Tanzil Tafsir Sunah An-Nuur fii Sual wa Jawab. Cetakan kedua. Tahun 1423H. Syaikh abu 'Abdillah Musthafa Al-'Adawi. Penerbita Maktabah Makkah.
  • Tafsir Al-Qur'an Al-Karim Surah An-Nuur. Cetakan Pertama. Tahun 1436H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Al-Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Disalin dari Artikel Rumaysho.com
Penulis salinan; Rachmat.M.M.a

17 November, 2021

Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma” (Bag. 2)

AL-QURAN TAFSIR

Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma” (Bag. 2)

SELENGKAPNYA; KLIK TOMBOL BUKA

Baca pembahasan sebelumnya: Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma” (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Daftar Isi ; Urut Judul

  1. Pohon Iman dalam Surat Ibrahim; ayat, 24-25
  2. 1.2  Daan dan ranting pohon iman
  3. Pohon Iman dalam Hadis

Pohon Iman dalam Surat Ibrahim : 24-25

Dalam surat Ibrahim : 24-25 yang telah disebutkan di atas, Allah Ta’ala membuat perumpamaan berupa sebuah pohon yang diberkahi oleh–Nya.

Allah Ta’ala memperumpamakan “Kalimatan Thayyibah (kalimat baik)” yang maksudnya adalah kalimat iman atau keimanan sebagai sebuah pohon iman yang merupakan sebaik-baik pohon, akarnya kokoh menghujam kedalam bumi dan dahan rantingnya menjulang tinggi ke langit, buahnya tak terputus, selalu ada di setiap waktu

Akar pohon iman

Akar pohon iman ini menghujam kedalam bumi, maksudnya adalah dasar keimanan yang kokoh dalam hati seorang mukmin berupa ilmu tentang iman dan keyakinan yang benar.

Dan akar pohon iman ini adalah rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, dan iman terhadap takdir.

Sedangkan iman kepada Allah adalah dasar dari seluruh rukun iman yang lainnya, dengan demikian Tauhid adalah dasar keimanan, karena iman kepada Allah mencakup mengimani keberadaan Allah dan mengesakan Allah atau tauhidullah!

Dahan dan ranting pohon iman

Sedangkan dahan dan ranting pohon iman adalah seluruh amalan ketaatan kepada Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang diridhoi oleh Allah, baik ucapan dan perbuatan yang lahir maupun batin.

Jadi dasar keimanan yang kokoh dalam hati menumbuhkan ucapan dan amal sholeh yang diridhoi oleh Allah.

Dahan ranting tersebut menjulang tinggi ke langit, maksudnya ucapan dan perbuatan yang diridhoi Allah tersebut terangkat ke atas, diterima oleh Allah pada setiap waktu, pagi dan sore.

Buah pohon iman

Adapun buah dari pohon iman ini adalah kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akherat.

Jadi seorang mukmin yang memiliki dasar iman yang kokoh dalam hati dan ucapan serta amalnya sholeh, diridhoi oleh Allah itu membuahkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akherat.

Pohon iman itu membuahkan buah setiap musim, maksudnya buah keimanan yang berupa kebaikan dan kebahagiaan itu dirasakan terus menerus oleh seorang mukmin di setiap waktu selama iman dan tauhid seseorang masih ada dalam hatinya, sebagaimana buah di surga terus ada tak pernah habis dan selalu siap dipetik.

Baca Juga: Pembagian Tafsir Menurut Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu

Pohon Iman dalam Hadits

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan pohon iman dengan bahasa yang lainnya, beliau bersabda :

الإيمان بضع وسبعون شعبة: أعلاها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من شعب الإيمان

“Iman itu tujuh puluh sekian cabang : paling tingginya adalah ucapan Laa ilaaha illallaah , dan paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, sedangkan malu adalah salah satu cabang keimanan!” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits ini menunjukkan bahwa pohon iman itu terdiri dari cabang-cabang berupa ucapan, contohnya adalah ucapan Laa ilaaha illallaah, dan berupa perbuatan, contohnya menyingkirkan gangguan dari jalan, serta berupa amalan hati, contohnya malu.

Sehingga profil seorang mukmin adalah orang yang hatinya bersih, ucapannya baik dan perbuatannya sholeh, sosok seorang mukmin adalah sosok orang yang lahir dan batinnya diridhoi oleh Allah, bersih dari segala kotoran dan perusak keimanan.

Profil Seorang Muslim

Dari penjelasan ayat tentang “Pohon Iman”, maka profil seorang mukmin yang baik adalah

  • 1.Sosok yang ilmu tentang iman dan keyakinannya benar dan kokoh dalam hatinya sehingga bersih dan baik hatinya.
  • 2. Ucapan dan perbuatannya diridhoi Allah dan terangkat ke atas, diterima oleh Allah Ta’ala.
  • 3. Ia mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akherat.

Dengan demikian profil seorang mukmin yang sempurna keimanannya adalah sosok yang lahir dan batinnya diridhoi oleh Allah, bersih dari segala kotoran dan perusak keimanan, dan bahagia di dunia mapun di akherat.

Baca Juga:

Wallahu a’lam bishshawab.

Disalin dari Sumber Artikel: Muslim.or.id

Penulis Rachma.M.Ma.Flimban

13 November, 2021

Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma”? (Bag. 1)

Selengkapnya Tekan Tombol Buka

Al QURAN, TAFSIR

Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma”? (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Ayat Tentang “Pohon Kurma”l

Sobat, tahukah anda bahwa Allah Ta’ala telah membuat perumpamaan tentang pohon iman di dalam Alquran?

Simaklah firman Allah Ta’ala berikut ini :

{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ}

(24) Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan dahannya (menjulang) ke langit,

{تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ}

(25) pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS.Ibrahim : 24-25).

Baca Juga: Tafsir Surat Ad Dukhan Ayat 10-15: Munculnya Dukhan Di Akhir Zaman

Tafsir Surat Ayat Tentang “Pohon Kurma”

Berikut ini tafsiran pakar tafsir dari kalangan Salaf Sholeh rahimahumullah :

Tafsir {كَلِمَةً طَيِّبَةً} = “kalimat yang baik”

Pakar tafsir dari kalangan sahabat, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan :

شهادة أن لا إله إلا الله

“Syahadat La ilaha illallah”

Ar-Rabi’ bin Anas radhiyallahu anhu menafsirkan dengan :

هذا مَثَلُ الإيمان

“Ini adalah perumpamaan iman”

Tafsir {كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ} = “seperti pohon yang baik”

Dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim (lafazh Muslim), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَخْبِرُونِى عَنْ شَجَرَةٍ مَثَلُهَا مَثَلُ الْمُؤْمِنِ

“Kabarkanlah kepadaku tentang sebuah pohon yang perumpamaannya seperti seorang mukmin ?”

Di akhir hadits , beliau menyebutkan pohon tersebut dengan sabdanya :

هي النخلة

“Pohon itu adalah pohon kurma”

Pakar tafsir dari kalangan tabi’in, Mujahid rahimahullah menafsirkan dengan :

كنخلة

“seperti pohon kurma”

Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan :

هي النخلة

“Pohon tersebut adalah pohon kurma”

Tafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu :

“Pohon tersebut adalah pohon di surga”

هي شجرة في الجنة

Tafsiran pakar tafsir dari kalangan tabi’in, Qotadah rahimahullah :

كنا نُحَدَّث أنها النخلة

“Dahulu kami membicarakan tentangnya, bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma”

Tafsiran pakar tafsir dari kalangan tabi’in, Ikrimah rahimahullah :

هي النخلة

“Pohon tersebut adalah pohon kurma”

Tafsir {تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا } = “pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya”

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan :

غُدْوةً وعشيّةً

“pagi dan sore”

يذكر الله كلّ ساعة من الليل والنهار

“Mengingat Allah setiap saat, malam dan siang”

Adh-dhahhak rahimahullah berkata :

المؤمن يطيع الله بالليل والنهار وفي كل حينٍ

“Seorang mukmin taat kepada Allah pada malam dan siang hari serta setiap saat”

تخرج ثمرتها كُلَّ حين. وهذا مثلُ المؤمن يعمل كل حين ، كل ساعة مِن النهار ، وكل ساعة من الليل ، وبالشتاء والصيف ، بطاعة الله

“Keluar buahnya setiap saat. Ini perumpamaan seorang mukmin yang beramal sholeh setiap saat, tiap waktu siang dan malam, baik di saat musim dingin maupun musim panas dengan taat kepada Allah”

Ar-Rabi’ bin Anas radhiyallahu anhu menafsirkan dengan :

يصعَدُ عمله أولَ النهار وآخره

“Naik amalnya di awah hari dan diakhir hari”

Tafisr firman Allah Ta’ala :

{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ}

(24) Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan dahannya (menjulang) ke langit.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan firman-Nya :

{ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً }

“Syahadat La ilaha illallah”

{ كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ }

“yaitu seorang yang beriman”

{ أَصْلُهَا ثَابِتٌ }

“La ilaha illallah dalam hati seorang mukmin”

{ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ }

“amal seorang mukmin diangkat ke langit dengan sebabnya (La ilaha illallah)”

Dalam ucapan beliau yang lainnya :

“Yang dimaksud dengan pohon yang baik adalah seorang mukmin, dan maksud dari akarnya teguh di bumi dan cabangnya (menjulang) ke langit adalah seorang mukmin beramal sholeh dan berbicara di bumi , lalu amal dan ucapannya sampai di langit sedangkan ia tetap di bumi”

Ar-Rabi’ bin Anas radhiyallahu anhu menafsirkan firman Allah :

{ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً }

beliau berkata : “Ini adalah perumpamaan iman. Iman diperumpamakan sebagai pohon yang baik, akarnya kokoh yang tidak hilang, yaitu : ikhlash lillah, dan dahannya ke langit, yaitu cabang keimanan berupa takut kepada Allah yang didasari ilmu”

Baca Juga:

  • Tafsir Ayat Proses Kesembuhan Nabi Ayyub ‘Alaihissalam
  • Al-Quran Tidak Bisa Ditafsirkan dengan Metode Hermeneutika

(Bersambung, in sya Allah)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Disalin dari Sumber Artikel: Muslim.or.id

Penulis Salinan; Rachmat.M.Ma,Flimban

Terimakasih Atas Kunjungannya, Insya Allah Bermanfaat

Penulis; Rachmat.M.Ma,Flimban

Terimakasih Kunjungannya, Semoga Bermanfaa, Tinggalkan Pesan dan Saranya di kolom tersedi di bawah ini.

20 Agustus, 2021

Rambu-rambu Penting dalam Mengkaji, Memahami, dan Menafsirkan al-Qur’an

HIDAYA,TAFSIRr,Que'an

Rambu-rambu Penting dalam Mengkaji, Memahami, dan Menafsirkan al-Qur’an

Oleh admin 08/09/2015 di Asy Syariah Edisi 103, Manhaji

Di antara nikmat terbesar yang Allah ‘azza wa jalla karuniakan kepada umat Islam adalah Kitab Suci al-Qur’an. Dengan segala hikmah dan keadilan-Nya, Allah ‘azza wa jalla menjadikannya sebagai pedoman dan lentera bagi kehidupan umat manusia. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabb-mu (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (al-Qur’an).” (an-Nisa’: 174)

Al-Qur’an adalah kitab suci yang paling mulia. Hikmah yang dikandungnya pun sangat luas dan berharga. Di dalamnya terdapat lautan ilmu, petunjuk kepada jalan yang lurus, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah ‘azza wa jalla. Firman-Nya ‘azza wa jalla,

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)

“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian Rasul kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari Al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya.

Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (al-Qur’an). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Maidah: 15—16)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kitabullah (al-Qur’an) adalah yang paling berhak untuk dicurahkan kepadanya perhatian dan kesungguhan, yang paling agung untuk dikerahkan kepadanya pemikiran dan ditorehkan dengannya pena. Sebab, ia adalah sumber segala ilmu dan hikmah, tempat setiap petunjuk dan rahmat. Al-Qur’an adalah bekal termulia bagi ahli ibadah dan pegangan terkuat bagi orang-orang yang berpegang teguh (istiqamah). Barang siapa berpegang teguh dengannya, sungguh telah berpegang dengan tali yang kuat; barang siapa berjalan di atasnya, sungguh telah berjalan di atas jalan yang lurus dan terbimbing menuju ash-shirathal mustaqim.” (al-Fawaid al-Musyawwiq ila Ulumil Qur’an wa Ilmil Bayan, hlm. 6—7)

Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an

Kitab Suci al-Qur’an tidaklah diturunkan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk dibaca dan dihafalkan semata. Allah ‘azza wa jalla menurunkannya supaya direnungkan ayat-ayatnya dan dipetik pelajaran-pelajaran berharga darinya. Itulah hikmah diturunkannya al-Qur’an. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran.” (Shad: 29)

Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla menerangkan (dalam ayat ini) bahwa hikmah dari penurunan al-Qur’an yang penuh berkah itu, supaya manusia mentadabburi (merenungkan) ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran berharga darinya. Maksud dari mentadabburi adalah merenungkan lafadz-lafadznya hingga dapat memahami kandungan maknanya. Jika upaya perenungan tersebut tak dilakukan, hilanglah hikmah penurunan al-Qur’an. Jadilah ia lafadz-lafadz yang tak bermakna. Lebih dari itu, tidaklah mungkin pelajaran-pelajaran berharga dapat dipetik darinya tanpa memahami kandungan maknanya.” (Tafsir al-Qur’an karya asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/20)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Telah maklum bahwa target dari setiap perkataan yang diucapkan adalah agar dipahami maknanya dan tidak sekadar dikenali lafadz-lafadznya. Sudah barang tentu, yang lebih utama untuk dipahami makna-maknanya adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla).

Demikian pula menurut kebiasaan, tidaklah dibenarkan sekelompok orang yang mempelajari suatu disiplin ilmu seperti ilmu kedokteran atau matematika, namun tidak berupaya memahaminya dengan baik. Bagaimanakah dengan kalamullah yang merupakan pedoman hidup mereka, dan dengannya akan diraih keselamatan, kebahagiaan, dan tegaknya urusan agama dan dunia mereka?! (Majmu’ Fatawa 13/332)

Kewajiban Mengkaji dan Memahami Kitab Suci Al-Qur’an dengan Baik dan Benar

Betapa besar hikmah dari penurunan Kitab Suci al-Qur’an. Hikmah itu pun tak mungkin terwujud tanpa adanya upaya mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an dengan baik dan benar.

Atas dasar itu, mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an dengan baik dan benar merupakan kewajiban setiap muslim. Dengannya, pengamalan terhadap al-Qur’an menjadi benar dan sesuai dengan yang dimaukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Demikianlah yang dilakukan oleh para pendahulu umat ini (salaful ummah).

Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Para pendahulu umat ini (salaful ummah) berjalan di atas kewajiban ini, mereka mempelajari al-Qur’an lafadz dan maknanya. Karena itu, mereka lebih mudah mengamalkan al-Qur’an sesuai dengan yang dimaukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Sebab, tidak mungkin beramal dengan sesuatu yang tidak dipahami.

Abu Abdirrahman as-Sulami rahimahullah berkata, ‘Telah memberitakan kepada kami orang-orang yang mengajarkan al-Qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dan selain keduanya bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidaklah mereka melanjutkannya hingga memahami kandungan maknanya dari ilmu dan pengamalannya. Mereka pun mengatakan, kami mempelajari al-Qur’an, ilmu, dan pengamalannya secara sekaligus’.” (Tafsir al-Qur’an, asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/21)

Mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an adalah amalan mulia. Dengannya, hati seseorang akan hidup. Sebaliknya, sikap enggan mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an adalah perbuatan tercela. Karena itu, hati seseorang akan mati terkunci. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Maka apakah mereka tidak memerhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla berfirman memerintahkan agar al-Qur’an ditadabburi dan dipahami, serta melarang dari sikap berpaling darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir 7/320)

Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidakkah orang-orang yang berpaling dari kitabullah mau merenungi dan memerhatikannya dengan saksama? Sungguh, jika mereka mau merenunginya. niscaya ia akan mengarahkan mereka kepada seluruh kebaikan dan memperingatkan mereka dari seluruh kejelekan. Kalbu mereka akan dipenuhi iman. Hati mereka pun akan dipenuhi keyakinan.

Al-Qur’an mengantar mereka kepada cita-cita yang mulia dan karunia yang tak terhingga; menjelaskan kepada mereka jalan yang mengantarkan kepada Allah ‘azza wa jalla dan Jannah-Nya, serta hal-hal yang dapat menyempurnakan jalan tersebut dan merusaknya. Demikian pula jalan yang mengantarkan kepada azab-Nya dan bagaimana cara menghindarinya; mengenalkan kepada mereka Rabb mereka; nama-nama dan sifat-sifat- Nya serta kebaikan-Nya; memotivasi mereka untuk selalu merindukan pahala yang besar dan mewanti-wanti mereka dari azab yang pedih.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 788)[1]

Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla mencela orang-orang yang enggan mentadabburi al-Qur’an, dan mengisyaratkan bahwa itu termasuk penguncian terhadap hati mereka dan tidak sampainya kebaikan kepadanya.” (Tafsir al-Qur’an, asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/21)

Tak mengherankan apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya supaya mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya. Dengan begitu, predikat terbaik akan diraih. Dengannya pula berbagai kebaikan akan selalu mengiringi perjalanan hidup seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” ( HR. al-Bukhari no. 5027, dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu)

Jangan Salah Mengkaji, Memahami, dan Menafsirkan Al-Qur’an!

Mengkaji dan memahami al-Qur’an tak boleh asal-asalan. Kecerdasan atau kebersihan jiwa semata tak cukup untuk mengkaji dan memahaminya. Sebab, al-Qur’an adalah wahyu ilahi yang datang dari Allah Rabb Semesta Alam. Kedudukannya pun sangat sakral dalam agama ini.

Tak mengherankan apabila para pendahulu terbaik umat ini (as-salafush shalih) selalu berpegang dengan atsar (riwayat-riwayat) dalam mengkaji, memahami, dan menafsirkannya. Tidak bermudah-mudahan menggunakan logika atau ijtihad, padahal mereka adalah orang-orang yang jenius. Tidak gegabah mengeluarkan gagasan jiwa, meski mereka adalah orang-orang yang dikaruniai kebersihan jiwa. Mereka meyakini bahwa al-Qur’an haruslah dikaji, dipahami, dan ditafsirkan sesuai dengan yang dimaukan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara metode yang tepat dan benar dalam mengkaji, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lainnya.
Sebab, Allah ‘azza wa jalla yang menurunkannya dan Dia ‘azza wa jalla lebih mengetahui maksudnya. Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Yunus: 62)

Siapakah wali-wali Allah ‘azza wa jalla itu? Mereka adalah orang yang beriman dan selalu bertakwa sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang sesudahnya,

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 63)

Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-Sunnah).
Sebab, beliau adalah utusan Allah ‘azza wa jalla yang bertugas menyampaikan segala yang datang dari Allah ‘azza wa jalla. Tentunya, beliaulah orang yang paling mengetahui kandungan makna Al-Qur’an. Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Yunus: 26)

Yang dimaksud dengan “tambahan” di sini adalah kenikmatan melihat wajah Allah ‘azza wa jalla sebagaimana keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih Muslim no. 297—298 dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu dan hadits-hadits selainnya.

Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para sahabat g terutama para ulama mereka yang mumpuni di bidang tafsir.

Sebab, al-Qur’an turun dengan bahasa mereka dan di masa mereka. Merekalah orang yang paling bersungguh-sungguh mencari kebenaran setelah para nabi, orang yang paling jauh dari kesesatan, dan paling bersih dari hal-hal yang menghalangi mereka dari kebenaran. Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,

“Dan jika kamu sakit atau sedang bepergian atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan.” (an-Nisa’: 43)

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma menafsirkan “menyentuh perempuan” dengan jima’.

Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in yang bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu tafsir dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebab, mereka adalah orang terbaik umat ini setelah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lebih terselamatkan dari kesesatan daripada generasi sesudah mereka, dan bahasa Arab pun belum banyak berubah di masa mereka. Pemahaman mereka tentang al-Qur’an jauh lebih benar daripada generasi sesudah mereka.

Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pengertiannya secara terminologi (istilah) atau etimologi (bahasa) yang sesuai dengan redaksinya.

(Diringkas dari Tafsir al-Qur’an, asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/23-24)

Demikianlah lima tahapan penting dalam mengkaji, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an. Barang siapa berpegang teguh dengannya niscaya akan terbimbing kepada kebenaran. Barang siapa tak mengindahkannya, niscaya akan terjauhkan dari kebenaran.

Menelisik Syarat-Syarat Penafsir

Tafsir ( التَّفْسِير ), secara etimologi berasal dari kata al-fasr ( الفَسْر ) yang bermakna; menyingkap dari sesuatu yang tertutup. Secara terminologi bermakna; penjelasan tentang kandungan makna al-Qur’anul Karim.[2] Orang yang menjelaskan kandungan makna al-Qur’anul Karim disebut mufassir ( المفَسِّر ) atau penafsir.

Mengingat betapa rawan dan bahayanya menafsirkan Al-Qur’an dengan logika atau ijtihad, maka para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah memberikan syarat-syarat yang ketat sebagaimana berikut.

  1. Berilmu tentang akidah as-Salaf dan tauhid dengan tiga jenisnya, agar tidak terkontaminasi dengan akidah kelompokkelompok sesat ketika menafsirkan semisal; Jahmiyah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Murji’ah, dan yang lainnya.

  2. Berilmu tentang al-Qur’an dan menghafalnya, agar memungkinkan baginya menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lainnya atau mampu menempatkan al-mutasyabih pada tempatnya dan al-muhkam pada tempatnya. Lebih bagus lagi jika menguasai ilmu qiraat.

  3. Berilmu tentang as-Sunnah, sehingga ijtihadnya tentang tafsir ayat tertentu bersandarkan riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

  4. Berilmu tentang perkataan-perkataan sahabat, sehingga tafsirnya tidak berseberangan dengan tafsir mereka.

  5. Berilmu tentang peradaban bangsa Arab, agar dapat menempatkan sebuah ayat pada tempatnya.

  6. Menguasai bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang terkait dengannya seperti; nahwu, sharaf, ilmu al-ma’ani, dan balaghah. (Diringkas dari kitab Manahij al-Mufassirin karya asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh 1/15-16)

Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata, “Tujuan dari semua ini adalah agar orang-orang yang mengira dirinya layak menafsirkan al-Qur’an padahal tidak layak, tidak gegabah menafsirkan dengan ijtihad dan istinbath sementara perangkat-perangkatnya belum dimiliki. Sebab, permasalahan tafsir itu berat.

Oleh karena itu, sekelompok as-Salaf mengharamkan tafsir dengan ijtihad. Mereka pun mengatakan, ‘Kami tidak menafsirkan al-Qur’an kecuali dengan apa yang dinukil dari para sahabat. Adapun setelah sahabat, maka tak seorang pun berhak menafsirkan al-Qur’an.’ Namun, ini pendapat sekelompok kecil dari tabi’in. (Manahij al-Mufassirin karya asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh 1/17)

Sekelumit Tentang Sejarah Penyelewengan Tafsir

Sejarah telah mencatat bahwa Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam tidaklah tersesat melainkan karena memahami dan menafsirkan al-Qur’an dengan logika mereka tanpa metode yang tepat dan benar. Mereka mengambil ayat-ayat yang berisi ancaman azab (wa’id) dan mengesampingkan ayat-ayat lainnya yang berisi rahmat dan ampunan Allah ‘azza wa jalla. Kemudian mereka mengembangkannya dengan logika hingga terjatuh ke dalam praktik takfir (pengkafiran) terhadap pelaku dosa besar di bawah dosa syirik. Kafir di dunia dan kekal abadi di neraka.

Sejarah pun mencatat, tatkala terjadi rekonsiliasi antara pihak Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Gubernur Syam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, pasca-Perang Shiffin, dengan kesepakatan mengembalikan amar putusan (bertahkim) kepada para juru pendamai (hakam), yaitu Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu dari pihak Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, maka kaum Khawarij tanpa keraguan sedikit pun mengkafirkan kedua belah pihak dengan alasan “telah berhukum kepada manusia dan tidak berhukum kepada Allah ‘azza wa jalla”. Mereka berdalil dengan firman Allah ‘azza wa jalla,

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengingatkan mereka bahwa Allah ‘azza wa jalla memerintahkan agar mengutus juru pendamai dari pihak suami dan pihak istri manakala terjadi pertikaian antara keduanya, guna mendapatkan solusi yang terbaik. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,

“Dan jika kamu khawatirkan ada pertikaian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (an-Nisa’: 35)

Kalaulah mengutus dua juru pendamai untuk urusan rumah tangga diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla, lebih berhak lagi mengutus dua juru pendamai untuk urusan yang lebih besar, dalam hal ini berkaitan dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Beliau radhiallahu ‘anhuma juga membawakan firman Allah ‘azza wa jalla,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (al-Maidah: 95)

Kalaulah putusan harga (denda) hewan buruan tersebut diserahkan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada dua orang yang adil, tentunya boleh juga menyerahkan amar putusan kepada para juru pendamai terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin yang jauh lebih besar. Kalaulah permasalahan hewan buruan tergolong penting untuk segera diselesaikan dengan dipercayakan kepada ahlinya, lebih-lebih lagi permasalahan yang berkaiatan dengan darah dan kehormatan kaum muslimin.[3]

Demikianlah di antara contoh kasus memahami dan menafsirkan al-Qur’an tanpa menggunakan metodologi yang tepat dan benar. Akibatnya, mereka terjatuh dalam takfir (pengkafiran) yang sesat dan menyesatkan. Bahkan, kesudahannya adalah mengkafirkan siapa saja yang bukan kelompoknya, serta menghalalkan darah dan hartanya.[4] Wallahul Musta’an.

Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi


BookMarks

[1] Beliau juga berkata, “Membaca al-Qur’an dengan penuh tadabbur lebih utama daripada membacanya dengan cepat (banyak) tanpa mentadabburinya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 712)

[2]Tafsir Al-Qur’an karya asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/20.

[3] Lihat Kitab al-Khashaish karya al-Imam an-Nasa’i hlm. 195, Talbis Iblis karya al-Imam Ibnul Jauzi hlm. 82, dan al-Ajwibah al-Atsariyyah ‘anil Masail al-Manhajiyyah karya asy-Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkhali hlm. 91-93.

[4] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Kemudian mereka berpendapat bahwa siapa saja yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka, maka ia kafir, halal darah, harta dan keluarganya.” (Fathul Bari, 12/297)

Tags: tafsir al-qur'antafsir batil

Dinukil dari Sumber Artikel; Asysyariah.com

author; Rachmat.M.Flimbat

13 Agustus, 2021

Sebab-Sebab Mendapatkan Hidayah

Hidayah,Asy Syariah,Tafsir

Sebab-Sebab Mendapatkan Hidayah

Oleh Redaksi 06/07/2021 di Asy Syariah Edisi 064, Kajian Utama

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا
إِنَّ السَّفِينَةَ لَا تَجْرِي عَلَى الْيَبَسِ
Engkau mendambakan hidayah, tetapi tidak menempuh jalannya
sesungguhnya kapal itu tidak mungkin berlayar di atas samudra yang kering
Cukup banyak jalan dan sebab mendapatkan hidayah yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Kita akan menyebutkannya semampu kita dengan taufik dan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
  1. Berpegang teguh dengan agama Allah subhanahu wa ta’ala.
  2. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
    وَمَن يَعۡتَصِم بِٱللَّهِ فَقَدۡ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسۡتَقِيمٍ
    “Barang siapa berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali Imran: 101)
    Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat di atas, “Berpegang teguh dengan (agama) Allah subhanahu wa ta’ala dan bertawakal kepada-Nya merupakan pegangan dalam hidayah, bekal untuk menjauhi kesesatan, sarana menuju jalan petunjuk, jalan yang lurus, dan tercapainya cita-cita.” (Tafsir Ibnu Katsir)
  3. Menaati dan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan menjalankan perintah beliau dan menjauhi larangannya, mengkaji dan mengamalkan sunnahnya.
  4. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

    وَإِن تُطِيعُوهُ تَهۡتَدُواْۚ وَمَا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَٰغُ ٱلۡمُبِينُ

    “Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (an-Nur: 54)

    “Tidak ada jalan bagi kita untuk meraih hidayah melainkan dengan cara menaati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Tanpa itu, maka tidak mungkin, bahkan mustahil,” tutur Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya.

    Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

    فَ‍َٔامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِ ٱلنَّبِيِّ ٱلۡأُمِّيِّ ٱلَّذِي يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَكَلِمَٰتِهِۦ وَٱتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ

    “… Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (al-A’raf: 158)

  5. Menelusuri jejak langkah salafush shalih dalam hal keilmuan dan berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
  6. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

    فَإِنۡ ءَامَنُواْ بِمِثۡلِ مَآ ءَامَنتُم بِهِۦ فَقَدِ ٱهۡتَدَواْۖ

    “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk ….” (al-Baqarah: 137)

    Maksudnya, tidak ada jalan bagi ahli kitab untuk mendapatkan hidayah melainkan dengan keimanan kepada apa yang diimani oleh para sahabat—kaum mukminin yang ada pada masa itu—yaitu keimanan kepada segenap nabi dan rasul, tidak membedakan di antara mereka, juga beriman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan kepada mereka. (Taisir al-Karim ar-Rahman)

    Ahli kitab tidak mungkin mendapatkan hidayah melainkan dengan mengikuti jejak langkah para sahabat dalam hal keimanan.
    Meskipun ayat di atas berkenaan dengan ahli kitab, lafaznya umum mencakup siapa pun yang mendambakan hidayah. Yang teranggap adalah keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab.
    Maka dari itu, tidak ada jalan bagi siapa pun untuk meraih hidayah melainkan dengan meniti jejak langkah salafush shalih dari kalangan para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabiin.
  7. Mengikuti bimbingan para ulama As-Sunnah
  8. Perhatikan firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut ini tentang seruan Nabi Ibrahim alaihis salam kepada ayahnya.

    يَٰٓأَبَتِ إِنِّي قَدۡ جَآءَنِي مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَمۡ يَأۡتِكَ فَٱتَّبِعۡنِيٓ أَهۡدِكَ صِرَٰطًا سَوِيًّا

    “Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 43)
    Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah dalam kitabnya Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama (hlm. 18) tatkala menyebutkan beberapa keutamaan ulama, mengatakan, “Termasuk keutamaan mereka adalah bahwa mengikuti mereka merupakan (sebab) hidayah kepada jalan yang lurus.”
    Beliau kemudian membawakan ayat di atas, juga surah al-An’am ayat 53. Beliau kemudian menegaskan, “Barang siapa mengikuti ulama, dia telah mengikuti jalan yang lurus. Adapun barang siapa menyelisihi ulama dan menyia-nyiakan hak mereka, dia telah keluar menuju jalan setan dan berpisah dari jalan lurus yang ditelusuri oleh Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan para pengikutnya ….”

    Cermati pula firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang ucapan orang yang beriman dari keluarga Fir’aun.

    وَقَالَ ٱلَّذِيٓ ءَامَنَ يَٰقَوۡمِ ٱتَّبِعُونِ أَهۡدِكُمۡ سَبِيلَ ٱلرَّشَادِ

    Orang yang beriman itu berkata, “Wahai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar.” (Ghafir: 38)

  9. Merenungkan firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut ini.
  10. وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

    “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabut: 69)
    Ayat di atas menjelaskan kepada kita beberapa sebab mendapatkan hidayah, di antaranya:
  1. Bersungguh-sungguh mengikuti jalan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala
  2. Berjihad fi sabilillah melawan musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala sesuai dengan ketentuan syariat, mengharapkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala semata.
  3. Berbuat baik dengan menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala.
  4. Bersungguh-sungguh menimba ilmu syar’i.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat di atas,

“(Ayat tersebut) juga menunjukkan bahwa orang yang bersemangat dan bersungguh-sungguh menimba ilmu syar’i, dia akan mendapatkan hidayah dan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk menggapai apa yang dicarinya. Pertolongan ini berbentuk petunjuk-petunjuk Ilahi yang di luar batas kesungguhan seseorang dan kemudahan-kemudahan menggapai ilmu. Sebab, menimba ilmu syar’i termasuk jihad fi sabilillah. Bahkan, ia adalah salah satu dari dua jenis jihad yang tidak dilakukan melainkan oleh orang-orang khusus, yaitu jihad dengan ucapan dan lisan melawan orang kafir dan munafik, jihad mengajarkan bimbingan agama, dan jihad dengan membantah orang-orang yang menyelisihi kebenaran meskipun dari kalangan muslimin.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Yang dimaksud dengan orang-orang yang berjihad dalam ayat di atas adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat, dan para pengikut beliau hingga akhir zaman, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya.
Hidayah yang dimaksud dalam ayat ini meliputi hidayah al-irsyad dan hidayah at-taufiq, di dunia dan di akhirat. (Tafsir Ibnu Katsir)

(Ustadz Muhammad Afifudin)

Tags: hidayah sebab mendapatkan hidayah

Sumber Artikel; Asysyariah.com

Penulis; Rachmat.M.Flimban

12 Januari, 2021

Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma” (Bag. 2)

Al-Quran Tafsir

Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma” (Bag. 2)

Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma”

Baca pembahasan sebelumnya: Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma” (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du

Daftar Isi sembunyikan

  1. Pohon Iman dalam Surat Ibrahim : 24-25

    1.1. Akar pohon iman

    1.2. Dahan dan ranting pohon iman

    1.3. Buah pohon iman

  1. Pohon Iman dalam Hadits
  2. 1.3 Buah pohon iman

1. Pohon Iman dalam Surat Ibrahim : 24-25

Dalam surat Inbrahim; 24-25, yang telah di sebutkan diaatas, Allah Ta'ala membuat perumpamaan berupa sebuah pohon yang diberkahi oleh-nya.

Allah Ta’ala memperumpamakan “Kalimatan Thayyibah (kalimat baik)” yang maksudnya adalah kalimat iman atau keimanan sebagai sebuah pohon iman yang merupakan sebaik-baik pohon, akarnya kokoh menghujam kedalam bumi dan dahan rantingnya menjulang tinggi ke langit, buahnya tak terputus, selalu ada di setiap waktu.

1-1 Akar pohon iman

Akar pohon iman ini menghujam kedalam bumi, maksudnya adalah dasar keimanan yang kokoh dalam hati seorang mukmin berupa ilmu tentang iman dan keyakinan yang benar.

Dan akar pohon iman ini adalah rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, dan iman terhadap takdir. 

Sedangkan iman kepada Allah adalah dasar dari seluruh rukun iman yang lainnya, dengan demikian Tauhid adalah dasar keimanan, karena iman kepada Allah mencakup mengimani keberadaan Allah dan mengesakan Allah atau tauhidullah!

 1-2 Dahan dan ranting pohon iman

Sedangkan dahan dan ranting pohon iman adalah seluruh amalan ketaatan kepada Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang diridhoi oleh Allah, baik ucapan dan perbuatan yang lahir maupun batin. 

Jadi dasar keimanan yang kokoh dalam hati menumbuhkan ucapan dan amal sholeh yang diridhoi oleh Allah.

Dahan ranting tersebut menjulang tinggi ke langit, maksudnya ucapan dan perbuatan yang diridhoi Allah tersebut terangkat ke atas, diterima oleh Allah pada setiap waktu, pagi dan sore.

1-3 Buah pohon iman

Adapun buah dari pohon iman ini adalah kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akherat. 

Jadi seorang mukmin yang memiliki dasar iman yang kokoh dalam hati dan ucapan serta amalnya sholeh, diridhoi oleh Allah itu membuahkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akherat.  

Pohon iman itu membuahkan buah setiap musim, maksudnya buah keimanan yang berupa kebaikan dan kebahagiaan itu dirasakan terus menerus oleh seorang mukmin di setiap waktu selama iman dan tauhid seseorang masih ada dalam hatinya, sebagaimana buah di surga terus ada tak pernah habis dan selalu siap dipetik.

Baca Juga: Pembagian Tafsir Menurut Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu

Pohon Iman dalam Hadits

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan pohon iman dengan bahasa yang lainnya, beliau bersabda :

الإيمان بضع وسبعون شعبة: أعلاها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من شعب الإيمان

“Iman itu tujuh puluh sekian cabang : paling tingginya adalah ucapan Laa ilaaha illallaah , dan paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, sedangkan malu adalah salah satu cabang keimanan!” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits ini menunjukkan bahwa pohon iman itu terdiri dari cabang-cabang berupa ucapan, contohnya adalah ucapan Laa ilaaha illallaah, dan berupa perbuatan, contohnya  menyingkirkan gangguan dari jalan, serta berupa amalan hati, contohnya malu.

Sehingga profil seorang mukmin adalah orang yang hatinya bersih, ucapannya baik dan perbuatannya sholeh, sosok seorang mukmin adalah sosok orang yang lahir dan batinnya diridhoi oleh Allah, bersih dari segala kotoran  dan perusak keimanan.

Profil Seorang Muslim

Dari penjelasan ayat tentang “Pohon Iman”, maka profil seorang mukmin yang baik adalah 

  • Sosok yang ilmu tentang iman dan keyakinannya benar dan kokoh dalam hatinya sehingga bersih dan baik hatinya.

  • Ucapan dan perbuatannya diridhoi Allah dan terangkat ke atas, diterima oleh Allah Ta’ala. 

  • Ia mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akherat. 

Dengan demikian profil seorang mukmin yang sempurna keimanannya adalah sosok yang lahir dan batinnya diridhoi oleh Allah, bersih dari segala kotoran  dan perusak keimanan, dan bahagia di dunia mapun di akherat.

  • Keutamaan Mempelajari Tafsir Alquran

  • Tafsir Surat An-Najm 19-23: Ngalap Berkah Yang Salah

Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis: Rachmat.M.M,A
Sumber Artikel: Muslim.or.id

09 Januari, 2021

Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma”? (Bag. 1)

Al-Quran Tafsir

Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma”? (Bag. 1)

Daftar Isi sembunyikan

1. Ayat Tentang “Pohon Kurma”

2. Tafsir Surat Ayat Tentang “Pohon Kurma”

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Ayat Tentang “Pohon Kurma

Sobat, tahukah anda bahwa Allah Ta’ala telah membuat perumpamaan tentang pohon iman di dalam Alquran?

Simaklah firman Allah Ta’ala berikut ini :

{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ}

(24) Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan dahannya (menjulang) ke langit,

{تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ}

(25) pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS.Ibrahim : 24-25).

Baca Juga: Tafsir Surat Ad Dukhan Ayat 10-15: Munculnya Dukhan Di Akhir Zaman

Tafsir Surat Atay Tentang “Pohon Kurma”

Berikut ini tafsiran pakar tafsir dari kalangan Salaf Sholeh rahimahumullah :

Tafsir {كَلِمَةً طَيِّبَةً} = “kalimat yang baik”

Pakar tafsir dari kalangan sahabat, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan :

شهادة أن لا إله إلا الله

“Syahadat La ilaha illallah”

Ar-Rabi’ bin Anas radhiyallahu anhu menafsirkan dengan:

هذا مَثَلُ الإيمان

“Ini adalah perumpamaan iman”

Tafsir {كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ} = “seperti pohon yang baik”

Dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim (lafazh Muslim), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَخْبِرُونِى عَنْ شَجَرَةٍ مَثَلُهَا مَثَلُ الْمُؤْمِنِ

“Kabarkanlah kepadaku tentang sebuah pohon yang perumpamaannya seperti seorang mukmin ?”

Di akhir hadits , beliau menyebutkan pohon tersebut dengan sabdanya :

هي النخلة

“Pohon itu adalah pohon kurma”

Pakar tafsir dari kalangan tabi’in, Mujahid rahimahullah menafsirkan dengan :

كنخلة

“seperti pohon kurma”

Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan :

هي النخلة

“Pohon tersebut adalah pohon kurma”

Tafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu :

هي شجرة في الجنة

“Pohon tersebut adalah pohon di surga”

Tafsiran pakar tafsir dari kalangan tabi’in, Qotadah rahimahullah :

كنا نُحَدَّث أنها النخلة

“Dahulu kami membicarakan tentangnya, bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma”

Tafsiran pakar tafsir dari kalangan tabi’in, Ikrimah rahimahullah :

هي النخلة

“Pohon tersebut adalah pohon kurma”

Tafsir {تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا } = “pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya”

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan dengan :

غُدْوةً وعشيّةً

“pagi dan sore”

يذكر الله كلّ ساعة من الليل والنهار

“Mengingat Allah setiap saat, malam dan siang”

Adh-dhahhak rahimahullah berkata :

المؤمن يطيع الله بالليل والنهار وفي كل حينٍ

“Seorang mukmin taat kepada Allah pada malam dan siang hari serta setiap saat”

 

تخرج ثمرتها كُلَّ حين. وهذا مثلُ المؤمن يعمل كل حين ، كل ساعة مِن النهار ، وكل ساعة من الليل ، وبالشتاء والصيف ، بطاعة الله

“Keluar buahnya setiap saat. Ini perumpamaan seorang mukmin yang beramal sholeh setiap saat, tiap waktu siang dan malam, baik di saat musim dingin maupun musim panas dengan taat kepada Allah”

Ar-Rabi’ bin Anas radhiyallahu anhu menafsirkan dengan :

يصعَدُ عمله أولَ النهار وآخره

“Naik amalnya di awah hari dan diakhir hari”

Tafisr firman Allah Ta’ala :

{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ}

(24) Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan dahannya (menjulang) ke langit.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan firman-Nya :

{ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً }

“Syahadat La ilaha illallah”

{ كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ }

“yaitu seorang yang beriman”

{ أَصْلُهَا ثَابِتٌ }

“La ilaha illallah dalam hati seorang mukmin”

{ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ }

“amal seorang mukmin diangkat ke langit dengan sebabnya (La ilaha illallah)

Dalam ucapan beliau yang lainnya :

“Yang dimaksud dengan pohon yang baik adalah seorang mukmin, dan maksud dari akarnya teguh di bumi dan cabangnya (menjulang) ke langit adalah seorang mukmin beramal sholeh dan berbicara di bumi , lalu amal dan ucapannya sampai di langit sedangkan ia tetap di bumi”

Ar Rabi bin Anas Rahiyallahu anhu menafsirkan firman Allah:

{ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً }

Beliau Berkata:

“Ini adalah perumpamaan iman. Iman diperumpamakan sebagai pohon yang baik, akarnya kokoh yang tidak hilang, yaitu : ikhlash lillah, dan dahannya ke langit, yaitu cabang keimanan berupa takut kepada Allah yang didasari ilmu”

Baca Juga:

Tafsir Ayat Proses Kesembuhan Nabi Ayyub ‘Alaihissalam

Al-Quran Tidak Bisa Ditafsirkan dengan Metode Hermeneutika

(Bersambung, in sya Allah)

Penulis: Rachmat.Machmud

Sumber Artikel: Muslim.or.id

 Baca Juga Daftar Tafsir Ayat Tentang Pohon Kurma Bagian 2