HIDAYA,TAFSIRr,Que'an
Rambu-rambu Penting dalam Mengkaji, Memahami, dan Menafsirkan al-Qur’an
Oleh admin 08/09/2015 di Asy Syariah Edisi 103, Manhaji
Di antara nikmat terbesar yang Allah
‘azza wa jalla karuniakan kepada umat Islam adalah Kitab Suci al-Qur’an. Dengan
segala hikmah dan keadilan-Nya, Allah ‘azza wa jalla menjadikannya sebagai
pedoman dan lentera bagi kehidupan umat manusia. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabb-mu (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah
Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (al-Qur’an).”
(an-Nisa’: 174)
Al-Qur’an adalah kitab suci yang paling mulia. Hikmah yang dikandungnya pun sangat luas dan berharga. Di dalamnya
terdapat lautan ilmu, petunjuk kepada jalan yang lurus, rahmat, dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah ‘azza wa jalla.
Firman-Nya ‘azza wa jalla,
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)
“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada
kalian Rasul kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari Al-Kitab yang kalian
sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (al-Qur’an). Dengan kitab itulah
Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan
keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari
kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki
mereka ke jalan yang lurus.” (al-Maidah: 15—16)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Kitabullah (al-Qur’an) adalah yang paling berhak untuk dicurahkan
kepadanya perhatian dan kesungguhan, yang paling agung untuk dikerahkan
kepadanya pemikiran dan ditorehkan dengannya pena. Sebab, ia adalah sumber
segala ilmu dan hikmah, tempat setiap petunjuk dan rahmat. Al-Qur’an adalah
bekal termulia bagi ahli ibadah dan pegangan terkuat bagi orang-orang yang
berpegang teguh (istiqamah). Barang siapa berpegang teguh dengannya, sungguh
telah berpegang dengan tali yang kuat; barang siapa berjalan di atasnya, sungguh
telah berjalan di atas jalan yang lurus dan terbimbing menuju ash-shirathal
mustaqim.” (al-Fawaid al-Musyawwiq ila Ulumil Qur’an wa Ilmil Bayan, hlm. 6—7)
Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an
Kitab Suci al-Qur’an tidaklah
diturunkan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk dibaca dan dihafalkan semata. Allah
‘azza wa jalla menurunkannya supaya direnungkan ayat-ayatnya dan dipetik
pelajaran-pelajaran berharga darinya. Itulah hikmah diturunkannya al-Qur’an.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayat-Nya
dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran.” (Shad: 29)
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla menerangkan (dalam ayat
ini) bahwa hikmah dari penurunan al-Qur’an yang penuh berkah itu, supaya manusia
mentadabburi (merenungkan) ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran berharga
darinya. Maksud dari mentadabburi adalah merenungkan lafadz-lafadznya hingga
dapat memahami kandungan maknanya. Jika upaya perenungan tersebut tak dilakukan,
hilanglah hikmah penurunan al-Qur’an. Jadilah ia lafadz-lafadz yang tak
bermakna. Lebih dari itu, tidaklah mungkin pelajaran-pelajaran berharga dapat
dipetik darinya tanpa memahami kandungan maknanya.” (Tafsir al-Qur’an karya
asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/20)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, “Telah maklum bahwa target dari setiap perkataan yang
diucapkan adalah agar dipahami maknanya dan tidak sekadar dikenali
lafadz-lafadznya. Sudah barang tentu, yang lebih utama untuk dipahami
makna-maknanya adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla).
Demikian pula menurut kebiasaan,
tidaklah dibenarkan sekelompok orang yang mempelajari suatu disiplin ilmu
seperti ilmu kedokteran atau matematika, namun tidak berupaya memahaminya dengan
baik. Bagaimanakah dengan kalamullah yang merupakan pedoman hidup mereka, dan
dengannya akan diraih keselamatan, kebahagiaan, dan tegaknya urusan agama dan
dunia mereka?! (Majmu’ Fatawa 13/332)
Kewajiban Mengkaji dan Memahami Kitab
Suci Al-Qur’an dengan Baik dan Benar
Betapa besar hikmah dari penurunan
Kitab Suci al-Qur’an. Hikmah itu pun tak mungkin terwujud tanpa adanya upaya
mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an dengan baik dan benar.
Atas dasar itu, mengkaji dan memahami
Kitab Suci al-Qur’an dengan baik dan benar merupakan kewajiban setiap muslim.
Dengannya, pengamalan terhadap al-Qur’an menjadi benar dan sesuai dengan yang
dimaukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Demikianlah yang dilakukan oleh para
pendahulu umat ini (salaful ummah).
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Para pendahulu umat ini (salaful
ummah) berjalan di atas kewajiban ini, mereka mempelajari al-Qur’an lafadz dan
maknanya. Karena itu, mereka lebih mudah mengamalkan al-Qur’an sesuai dengan
yang dimaukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Sebab, tidak mungkin beramal dengan
sesuatu yang tidak dipahami.
Abu
Abdirrahman as-Sulami rahimahullah berkata, ‘Telah memberitakan kepada kami
orang-orang yang mengajarkan al-Qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Affan
radhiallahu ‘anhu, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dan selain keduanya
bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan tidaklah mereka melanjutkannya hingga memahami kandungan
maknanya dari ilmu dan pengamalannya. Mereka pun mengatakan, kami mempelajari
al-Qur’an, ilmu, dan pengamalannya secara sekaligus’.” (Tafsir al-Qur’an,
asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/21)
Mengkaji dan
memahami Kitab Suci al-Qur’an adalah amalan mulia. Dengannya, hati seseorang
akan hidup. Sebaliknya, sikap enggan mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an
adalah perbuatan tercela. Karena itu, hati seseorang akan mati terkunci. Allah
‘azza wa jalla berfirman,
“Maka apakah mereka
tidak memerhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Allah ‘azza wa jalla berfirman memerintahkan agar al-Qur’an ditadabburi dan
dipahami, serta melarang dari sikap berpaling darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir
7/320)
Asy-Syaikh
al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidakkah
orang-orang yang berpaling dari kitabullah mau merenungi dan memerhatikannya
dengan saksama? Sungguh, jika mereka mau merenunginya. niscaya ia akan
mengarahkan mereka kepada seluruh kebaikan dan memperingatkan mereka dari
seluruh kejelekan. Kalbu mereka akan dipenuhi iman. Hati mereka pun akan
dipenuhi keyakinan.
Al-Qur’an mengantar
mereka kepada cita-cita yang mulia dan karunia yang tak terhingga; menjelaskan
kepada mereka jalan yang mengantarkan kepada Allah ‘azza wa jalla dan
Jannah-Nya, serta hal-hal yang dapat menyempurnakan jalan tersebut dan
merusaknya. Demikian pula jalan yang mengantarkan kepada azab-Nya dan bagaimana
cara menghindarinya; mengenalkan kepada mereka Rabb mereka; nama-nama dan
sifat-sifat- Nya serta kebaikan-Nya; memotivasi mereka untuk selalu merindukan
pahala yang besar dan mewanti-wanti mereka dari azab yang pedih.” (Tafsir
as-Sa’di hlm. 788)[1]
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Allah ‘azza wa jalla mencela orang-orang yang enggan mentadabburi al-Qur’an,
dan mengisyaratkan bahwa itu termasuk penguncian terhadap hati mereka dan tidak
sampainya kebaikan kepadanya.” (Tafsir al-Qur’an, asy-Syaikh al-‘Allamah
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/21)
Tak mengherankan apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan umatnya supaya mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya. Dengan
begitu, predikat terbaik akan diraih. Dengannya pula berbagai kebaikan akan
selalu mengiringi perjalanan hidup seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (
HR. al-Bukhari no. 5027, dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu)
Jangan Salah Mengkaji, Memahami, dan Menafsirkan Al-Qur’an!
Mengkaji dan memahami al-Qur’an tak boleh asal-asalan. Kecerdasan atau
kebersihan jiwa semata tak cukup untuk mengkaji dan memahaminya. Sebab,
al-Qur’an adalah wahyu ilahi yang datang dari Allah Rabb Semesta Alam.
Kedudukannya pun sangat sakral dalam agama ini.
Tak mengherankan apabila para pendahulu terbaik umat ini (as-salafush shalih)
selalu berpegang dengan atsar (riwayat-riwayat) dalam mengkaji, memahami, dan
menafsirkannya. Tidak bermudah-mudahan menggunakan logika atau ijtihad, padahal
mereka adalah orang-orang yang jenius. Tidak gegabah mengeluarkan gagasan jiwa,
meski mereka adalah orang-orang yang dikaruniai kebersihan jiwa. Mereka meyakini
bahwa al-Qur’an haruslah dikaji, dipahami, dan ditafsirkan sesuai dengan yang
dimaukan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara metode yang tepat dan benar dalam mengkaji, memahami, dan
menafsirkan al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lainnya.
Sebab, Allah ‘azza wa jalla yang menurunkannya dan Dia ‘azza wa jalla lebih
mengetahui maksudnya. Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Yunus: 62)
Siapakah wali-wali Allah ‘azza wa jalla itu? Mereka adalah orang yang beriman
dan selalu bertakwa sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang sesudahnya,
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 63)
Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan keterangan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-Sunnah).
Sebab, beliau adalah utusan Allah ‘azza wa jalla yang bertugas menyampaikan
segala yang datang dari Allah ‘azza wa jalla. Tentunya, beliaulah orang yang
paling mengetahui kandungan makna Al-Qur’an. Contohnya firman Allah ‘azza wa
jalla,
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya.” (Yunus: 26)
Yang dimaksud dengan “tambahan” di sini adalah kenikmatan melihat wajah Allah
‘azza wa jalla sebagaimana keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam Shahih Muslim no. 297—298 dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu dan
hadits-hadits selainnya.
Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para
sahabat g terutama para ulama mereka yang mumpuni di bidang tafsir.
Sebab, al-Qur’an turun dengan bahasa mereka dan di masa mereka. Merekalah orang
yang paling bersungguh-sungguh mencari kebenaran setelah para nabi, orang yang
paling jauh dari kesesatan, dan paling bersih dari hal-hal yang menghalangi
mereka dari kebenaran. Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan jika kamu sakit atau sedang bepergian atau datang dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan.” (an-Nisa’: 43)
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma menafsirkan “menyentuh perempuan”
dengan jima’.
Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para
tabi’in yang bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu tafsir dari sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebab, mereka adalah orang terbaik umat ini setelah para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, lebih terselamatkan dari kesesatan daripada
generasi sesudah mereka, dan bahasa Arab pun belum banyak berubah di masa
mereka. Pemahaman mereka tentang al-Qur’an jauh lebih benar daripada generasi
sesudah mereka.
Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pengertiannya
secara terminologi (istilah) atau etimologi (bahasa) yang sesuai dengan
redaksinya.
(Diringkas dari Tafsir al-Qur’an, asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin 1/23-24)
Demikianlah lima tahapan penting dalam mengkaji, memahami, dan menafsirkan
al-Qur’an. Barang siapa berpegang teguh dengannya niscaya akan terbimbing kepada
kebenaran. Barang siapa tak mengindahkannya, niscaya akan terjauhkan dari
kebenaran.
Menelisik Syarat-Syarat Penafsir
Tafsir ( التَّفْسِير ), secara etimologi berasal dari kata al-fasr (
الفَسْر
) yang bermakna; menyingkap dari sesuatu yang tertutup. Secara terminologi
bermakna; penjelasan tentang kandungan makna al-Qur’anul Karim.[2] Orang yang
menjelaskan kandungan makna al-Qur’anul Karim disebut mufassir ( المفَسِّر )
atau penafsir.
Mengingat betapa rawan dan bahayanya menafsirkan Al-Qur’an dengan logika atau
ijtihad, maka para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah memberikan syarat-syarat yang
ketat sebagaimana berikut.
-
Berilmu tentang akidah as-Salaf dan tauhid dengan tiga jenisnya, agar
tidak terkontaminasi dengan akidah kelompokkelompok sesat ketika menafsirkan
semisal; Jahmiyah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Murji’ah, dan yang
lainnya.
-
Berilmu tentang al-Qur’an dan menghafalnya, agar memungkinkan baginya
menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lainnya atau mampu menempatkan
al-mutasyabih pada tempatnya dan al-muhkam pada tempatnya. Lebih bagus lagi
jika menguasai ilmu qiraat.
-
Berilmu tentang as-Sunnah, sehingga ijtihadnya tentang tafsir ayat
tertentu bersandarkan riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
-
Berilmu tentang perkataan-perkataan sahabat, sehingga tafsirnya tidak
berseberangan dengan tafsir mereka.
-
Berilmu tentang peradaban bangsa Arab, agar dapat menempatkan sebuah
ayat pada tempatnya.
-
Menguasai bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang terkait dengannya
seperti; nahwu, sharaf, ilmu al-ma’ani, dan balaghah. (Diringkas dari kitab
Manahij al-Mufassirin karya asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh
1/15-16)
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata, “Tujuan
dari semua ini adalah agar orang-orang yang mengira dirinya layak menafsirkan
al-Qur’an padahal tidak layak, tidak gegabah menafsirkan dengan ijtihad dan
istinbath sementara perangkat-perangkatnya belum dimiliki. Sebab, permasalahan
tafsir itu berat.
Oleh karena itu, sekelompok as-Salaf mengharamkan tafsir dengan ijtihad.
Mereka pun mengatakan, ‘Kami tidak menafsirkan al-Qur’an kecuali dengan apa yang
dinukil dari para sahabat. Adapun setelah sahabat, maka tak seorang pun berhak
menafsirkan al-Qur’an.’ Namun, ini pendapat sekelompok kecil dari tabi’in.
(Manahij al-Mufassirin karya asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh 1/17)
Sekelumit Tentang Sejarah Penyelewengan Tafsir
Sejarah telah mencatat bahwa Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam
tidaklah tersesat melainkan karena memahami dan menafsirkan al-Qur’an dengan
logika mereka tanpa metode yang tepat dan benar. Mereka mengambil ayat-ayat yang
berisi ancaman azab (wa’id) dan mengesampingkan ayat-ayat lainnya yang berisi
rahmat dan ampunan Allah ‘azza wa jalla. Kemudian mereka mengembangkannya dengan
logika hingga terjatuh ke dalam praktik takfir (pengkafiran) terhadap pelaku
dosa besar di bawah dosa syirik. Kafir di dunia dan kekal abadi di neraka.
Sejarah pun mencatat, tatkala terjadi rekonsiliasi antara pihak Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Gubernur Syam, Mu’awiyah bin
Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, pasca-Perang Shiffin, dengan kesepakatan
mengembalikan amar putusan (bertahkim) kepada para juru pendamai (hakam), yaitu
Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu dari pihak Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu dan Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan
radhiallahu ‘anhuma, maka kaum Khawarij tanpa keraguan sedikit pun mengkafirkan
kedua belah pihak dengan alasan “telah berhukum kepada manusia dan tidak
berhukum kepada Allah ‘azza wa jalla”. Mereka berdalil dengan firman Allah ‘azza
wa jalla,
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengingatkan mereka bahwa Allah ‘azza
wa jalla memerintahkan agar mengutus juru pendamai dari pihak suami dan pihak
istri manakala terjadi pertikaian antara keduanya, guna mendapatkan solusi yang
terbaik. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan jika kamu khawatirkan ada pertikaian antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (an-Nisa’: 35)
Kalaulah mengutus dua juru pendamai untuk urusan rumah tangga diperintahkan
oleh Allah ‘azza wa jalla, lebih berhak lagi mengutus dua juru pendamai untuk
urusan yang lebih besar, dalam hal ini berkaitan dengan darah dan kehormatan
kaum muslimin. Beliau radhiallahu ‘anhuma juga membawakan firman Allah ‘azza wa
jalla,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan,
ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan
sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan
buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.”
(al-Maidah: 95)
Kalaulah putusan harga (denda) hewan buruan tersebut diserahkan oleh Allah
‘azza wa jalla kepada dua orang yang adil, tentunya boleh juga menyerahkan amar
putusan kepada para juru pendamai terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin yang
jauh lebih besar. Kalaulah permasalahan hewan buruan tergolong penting untuk
segera diselesaikan dengan dipercayakan kepada ahlinya, lebih-lebih lagi
permasalahan yang berkaiatan dengan darah dan kehormatan kaum muslimin.[3]
Demikianlah di antara contoh kasus memahami dan menafsirkan al-Qur’an tanpa
menggunakan metodologi yang tepat dan benar. Akibatnya, mereka terjatuh dalam
takfir (pengkafiran) yang sesat dan menyesatkan. Bahkan, kesudahannya adalah
mengkafirkan siapa saja yang bukan kelompoknya, serta menghalalkan darah dan
hartanya.[4] Wallahul Musta’an.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
BookMarks
[1] Beliau juga berkata, “Membaca al-Qur’an dengan penuh tadabbur lebih utama
daripada membacanya dengan cepat (banyak) tanpa mentadabburinya.” (Tafsir
as-Sa’di hlm. 712)
[2]Tafsir Al-Qur’an karya asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin 1/20.
[3] Lihat Kitab al-Khashaish karya al-Imam an-Nasa’i hlm. 195, Talbis Iblis
karya al-Imam Ibnul Jauzi hlm. 82, dan al-Ajwibah al-Atsariyyah ‘anil Masail
al-Manhajiyyah karya asy-Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkhali hlm. 91-93.
[4] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Kemudian mereka
berpendapat bahwa siapa saja yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka, maka
ia kafir, halal darah, harta dan keluarganya.” (Fathul Bari, 12/297)
Tags: tafsir al-qur'antafsir batil
Dinukil dari Sumber Artikel;
Asysyariah.com
author;
Rachmat.M.Flimbat