Mu’alla bin Al Fadhl berkata,”Mereka
(para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah mempertemukan
mereka dengan bulan Ramadhan … .”[3]
Pujilah Allah dan bersyukurlah kepadaNya
karena telah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan tentram dan
damai. Renungkanlah, bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di Palestina,
Checnya, Afghanistan, Iraq dan negeri-negeri yang lainnya? Bagaimanakah keadaan
mereka dalam menyambut bulan suci ini? Musibah demi musibah, derita demi derita
menimpa mereka. Dengan derita dan tangisanlah mereka menyambut bulan suci ini.
Dengan beraneka ragam makanan kita berbuka puasa. Lantas, dengan apakah
saudara-saudara kita di Somalia berbuka puasa? Mereka terus menghadapi bencana
busung lapar[4].
Ramadhan Adalah Kesempataan Emas Untuk Menjadi Orang yang
Bertakwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa. [Al Baqarah/2 : 183] .
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata,”لَعَلَّ adalah untuk
ta`lil (menjelaskan sebab). Hal ini menjelaskan hikmah (tujuan) diwajibkannya
puasa. Yaitu, agar kalian (menjadi orang-orang yang) bertakwa kepada Allah.
Inilah hikmah (yang utama) dari ibadah puasa. Adapun hikmah-hikmah puasa yang
lainnya, seperti kemaslahatan jasmani atau kemaslahatan sosial, maka hanyalah
mengikutinya (bukan hikmah yang utama, pen).”[5]
Betapa banyak manusia pada zaman ini, jika dikatakan kepada
mereka “bertakwalah engkau kepada Allah”, maka merah padamlah wajahnya karena
marah dan tertipu dengan dirinya sendiri. Dia menganggap dirinya telah bertakwa
kepada Allah, sehingga merasa tersinggung jika dikatakan padanya untuk bertakwa
kepada Allah.
Ibnu Mas’ud berkata, ”Cukuplah sesorang itu berdosa jika
dikatakan kepadanya “bertakwalah kepada Allah”, lantas ia berkata ‘Urus dirimu
sendiri, orang seperti kamu mau menasihatiku?’ .”
Pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid keluar naik kendaraan
untanya yang mewah dan penuh hiasan, lalu seorang Yahudi berkata kepadanya:
“Wahai, Amirul Mukminin. Bertakwalah engkau kepada Allah,” maka beliaupun turun
dari kendaraannya dan sujud kepada Allah di atas tanah dengan penuh tawadhu` dan
khusyu. Khalifah kemudian memerintahkan agar kebutuhan orang Yahudi tersebut
dipenuhi.
Tatkala ditanyakan mengapa Khalifah memerintahkan demikian,
beliau menjawab: “Tatkala saya mendengar perkataan orang Yahudi tersebut, saya
teringat firman Allah
وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ
بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
(Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”,
bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah
(balasannya) neraka Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat tinggal yang
seburuk-buruknya”. -Al Baqarah ayat 206-), maka saya khawatir, saya adalah orang
yang disebut Allah tersebut”[6]
Oleh karena itu, puasa merupakan kesempatan emas untuk melatih
diri kita untuk bertakwa kepada Allah.
Sebagian Salaf menyatakan, puasa yang paling ringan adalah
meninggalkan makan dan minum. Jabir berkata,”Jika engkau berpuasa, maka
hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu juga ikut berpuasa… Dan tatkala
berpuasa, janganlah engkau menjadikan keadaanmu seperti keadaanmu tatkala tidak
berpuasa.”[7] Abul ‘Aliah mengatakan, orang yang berpuasa senantiasa berada
dalam ibadah, walaupun dia dalam keadaan tidur di atas tempat tidurnya, (yakni)
selama tidak ghibah (menggunjing) orang lain[8].
Syaikh As Sudais berkata,”Dan apakah mereka telah merealisasikan
dan menerapkan apa yang menjadi tujuan disyariatkannya puasa (yaitu untuk
bertakwa kepada Allah)? Ataukah masih banyak di antara mereka yang tidak
mengetahui hikmah disyari’atkannya puasa dan melupakan buah manis dari ketakwaan
serta jalan-jalan ketakwaan yang bercahaya, sehingga mencukupkan puasa hanya
dengan menahan diri dari makanan dan minuman serta pembatal-pembatal puasa yang
zhahir?” [9]
Beliau juga berkata,”Sebagian orang tidak mengetahui hakikat
puasa. Mereka membatasi makna puasa, yaitu hanya menahan diri dari makan dan
minum. Maka engkau lihat sebagian mereka, puasanya tidak bisa mencegah
(kejahatan) lisannya, sehingga terjerumus dalam ghibah, namimah dan dusta.
Demikian juga, mereka membiarkan telinga dan mata mereka berkeliaran, sehingga
terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah
hadits dalam Shahih-nya, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ
وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَيْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan
mengamalkannya[10] serta berbuat kebodohan [11], maka Allah tidak butuh kepada
puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya.[12]
Ibnu Rajab berkata,”Barangsiapa yang pada bulan Ramadhan ini
tidak beruntung, maka kapan lagi dia bisa beruntung? Barangsiapa yang pada bulan
suci ini tidak bisa mendekatkan dirinya kepada Allah, maka sungguh dia sangat
merugi.”[13]
Jadilah kita seperti kupu-kupu yang menyenangkan dan indah jika
dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan di antara tanaman, padahal
sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak dedaunan dan merupakan hama tanaman.
Namun setelah berpuasa beberapa saat dalam kepompongnya, berubahlah ulat
tersebut menjadi kupu-kupu yang indah.
Puasa Merupakan Kesempatan Untuk Membiasakan Diri
Mentadabburi Al-Qur’an
Betapa banyak orang yang telah berpaling dari Al Qur`an dan meninggalkan membaca
Al Qur`an. Atau tatkala membacanya, tanpa disertai dengan mentadabburi
(perenungan) kandungan maknanya. Sehingga pada sebagian orang, Al Qur`an menjadi
sesuatu yang terlupakan [14].
Ibnu Rajab berkata,”Allah mencela orang-orang yang membaca Al
Qur`an tanpa memahami (mentadaburi) maknanya. Allah berfirman وَمِنْهُمْ
أُمِّيُّوْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ (Dan di antara mereka
ada yang buta huruf tidak mengetahui Al Kitab (At Taurat), kecuali hanya
dongengan belaka.” –Al Baqarah/2 ayat 78-). Yaitu dalam membacanya tanpa
memahami maknanya. Tujuan diturunkannya Al Qur`an adalah untuk difahami maknanya
dan untuk diamalkan, bukan hanya sekedar untuk dibaca.” [15]
Tatkala tiba bulan Ramadhan Az Zuhri berkata: “Ramadhan itu
adalah membaca Al Qur`an dan memberi makan (fakir miskin)”.
Ibnu Abdilhakim berkata,”Jika tiba bulan Ramadhan, Imam Malik
menghindar dari membacakan hadits dan bertukar pikiran dengan ahli ilmu. Beliau
berkonsentrasi membaca Al Qur`an dari mushaf”.
Abdurrazak berkata,”Jika masuk bulan Ramadhan, Ats Tsauri
meninggalkan seluruh ibadah dan memfokuskan pada membaca Al Qur`an.”
Ibnu Rajab berkata,”Pada bulan Ramadhan, para salaf
berkonsentrasi membaca Al Qur`an. Di antara mereka ada yang mengkhatamkan Al
Qur`an setiap minggu, ada yang setiap tiga hari, ada juga yang menamatkan dalam
waktu dua malam.
Bahkan ada di antara mereka pada saat sepuluh malam yang
terakhir, menamatkan Al Qur`an setiap malam. Adapun hadits yang menjelaskan
larangan mengkhatamkan Al Qur`an kurang dari tiga hari, maka maksudnya, jika
dilaksanakan terus-menerus. Adapun menamatkan Al Qur`an pada waktu-waktu
(tertentu) yang mulia, seperti pada bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam
yang diharapkan, yaitu Lailatul Qadar, juga di tempat-tempat yang mulia; maka
yang demikian itu disunnahkan agar memperbanyak membaca Al Qur`an untuk
memanfaatkan kesempatan berada di tempat dan waktu yang mulia. Ini adalah
pendapat Imam Ahmad dan yang lainnya, dan merupakan hal yang diamalkan oleh
selain mereka.” [16]
Di antara adab-adab tatkala membaca Al Qur`an.[17]
-
Hendaknya membaca dengan tartil, memperhatikan hukum-hukum
tajwid disertai dengan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Jika ayat yang
dibaca berkaitan dengan kekurangan atau kesalahannya, maka hendaknya dia
beristighfar. Jika melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat Allah,
maka hendaknya dia meminta kepada Allah rahmat Allah tersebut. Jika melewati
ayat-ayat tentang adzab, maka hendaknya dia takut dan berlindung kepada
Allah dari adzab tersebut. Oleh karena itu, jika membaca Al Qur`an dengan
cepat dan kurang memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka sulit untuk
mempraktekan tadabbur Al Qur`an. Bahkan membaca Al Qur`an dengan cepat tanpa
aturan, terkadang hukumnya bisa menjadi haram, jika sampai menimbulkan
perubahan huruf-huruf (tidak keluar sesuai dengan makhrajnya), karena
menyebabkan terjadinya perubahan atas Al Qur`an. Adapun jika membaca dengan
cepat, namun tetap memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka tidak mengapa,
karena sebagian orang mudah bagi lisannya membaca Al Qur`an (dan sebagian
orang bisa mentadabburi Al Qur`an walaupun dibaca dengan cepat).
-
Hendaknya tidak memotong pembacaan Al Qur`an hanya karena
ingin ngobrol dengan teman duduk di sampingnya. Sebagian orang, jika sedang
membaca Al Qur`an kemudian di sampingnya ada seorang sahabatnya, maka diapun
sering memotong bacaannya untuk ngobrol dengan temannya tersebut. Perbuatan
seperti ini semestinya tidak dilakukan, karena termasuk dalam kategori
berpaling dari Al Qur`an tanpa adanya kebutuhan.
-
Tidak membaca Al Qur`an dengan suara keras sehingga
mengganggu orang yang berada di sekitarnya yang sedang membaca Al Qur`an
juga, atau sedang shalat, atau sedang tidur. Nabi telah melarang perihal
ini.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata: “Nabi i’tikaf di
masjid, lalu beliau mendengar orang-orang membaca Al Qur`an dengan suara yang
keras, dan Nabi sedang berada di dalam tenda i’tikafnya. Beliaupun membuka sitar
(kain penutup) tendanya, kemudian berkata: “Kalian semuanya sedang bermunajat
dengan Rabb-nya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain.
Janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya tatkala membaca Al Qur`an” atau
Beliau berkata: “Tatkala (membaca Al Qur`an) dalam shalat”.[18]
Ramadhan Adalah Kesempatan Untuk Instropeksi Diri
Umar Al Faruq berkata :
حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ
أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر
Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri
kalian sebelum kalian ditimbang. Dan berhiaslah (beramal shalihlah) untuk
persiapan hari ditampakkannya amalan hamba.[19]
Allah berfirman يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
(Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari
keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah) -Al Haqqah/69 : 18).
Benarlah yang diucapkan oleh Al Faruq, sesungguhnya muhasabah
diri di dunia ini, jauh lebih ringan daripada hisab Allah pada hari akhir nanti,
(yaitu) tatkala rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah Allah.
Baca Juga
Zuhud Sunni, Zuhud Shifi
Apabila Ibu Hamil Dan Menyusui Berpuasa Dan yang menjadi bukti
otentik adalah kitab yang sifatnya : … tidak meninggalkan yang kecil dan tidak
(pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?; dan mereka dapati apa yang
telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang
juapun. [Al Kahfi/18 : 49].
Al Hasan berkata,”Seorang mukmin adalah pengendali dirinya.
(Hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allah. Yang menyebabkan suatu kaum
hisabnya ringan di akhirat kelak ialah, karena mereka telah menghisab jiwa
mereka di dunia. Dan yang menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum pada hari
kiamat kelak ialah, karena mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhasabah (di
dunia).”[20]
Hakikat muhasabah ialah, menghitung dan membandingkan antara
kebaikan dan keburukan. Sehingga, dengan perbandingan ini diketahui mana dari
keduanya yang terbanyak.[21]
Ibnul Qayyim menjelaskan,”Namun, muhasabah ini akan terasa sulit
bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka
buruk kepada diri sendiri dan (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah
(istidraj).”
Pertama :
Cahaya hikmah, yaitu ilmu; yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara
kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudharat, yang
sempurna dan yang kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, ia bisa
mengetahui tingkatan amalan yang ringan dan yang berat, yang diterima dan yang
ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang, maka ia akan semakin
tepat dalam perhitungannya (muhasabah).
Kedua :
Adapun berprasangka buruk kepada diri sendiri sangat dibutuhkan (dalam
muhasabah). Karena berbaik sangka kepada jiwa, dapat menghambat kepada
sempurnanya pemeriksaan jiwa; sehingga bisa jadi, ia akan memandang
kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan, dan (sebaliknya) memandang aibnya
sebagai suatu kesempurnaan. Dan tidaklah berprasangka buruk kepada dirinya,
kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang berbaik sangka kepada
jiwanya, maka ia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.
Ketiga :
Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan
antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikanNya dan
kasih-sayangNya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan
kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang
terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan,
sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, pen), sedangkan ia tidak
menyadari hal itu.
Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan
kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah.
Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya
kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini sebagai tanda kebahagiaan dan
keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka ……
Ibnul Qayyim melanjutkan : …. semua kekuatan, baik yang nampak
maupun yang batin, jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang
diridhai Allah, maka hal itu sebagai karunia Allah. Jika tidak demikian, maka
kekuatan tersebut merupakan bencana.
Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan
berdakwah di jalanNya, maka hal itu merupakan karunia Allah. Jika tidak, maka
hanyalah merupakan bencana.
Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah, bukan
untuk mengharapkan ganjaran dan terima kasih dari manusia, maka ia merupakan
karunia Allah. Jika tidak demikian, maka harta itu hanyalah bumerang baginya ….
Dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan
serta kecintaan mereka padanya, jika disertai dengan rasa tunduk, rendah dan
hina di hadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya
dan kekurangan amalannya, dan usahanya menasihati manusia, maka hal ini adalah
karunia Allah. Jika tidak demikian, maka hanyalah bencana.
Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati point yang
sangat penting dan berbahaya ini, agar bisa membedakan antara karunia dan
bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa banyak ahli ibadah dan
berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini[22].
Ketahuilah, termasuk kesempurnaan muhasabah, yaitu engkau
mengetahui, bahwa setiap celaanmu kepada saudaramu yang berbuat maksiat atau
aib, maka akan kembali kepadamu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya
(kemaksiatannya), maka dia tidak akan mati hingga dia melakukan kemaksiatan
tersebut.[23]
Dalam menafsirkan hadits ini, Imam Ahmad berkata : “Yaitu
(mencelanya karena) dosa (maksiat), yang ia telah bertaubat darinya”[24].
Ibnul Qayyim berkata: Dan juga pada celaan yang dibarengi rasa
gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At
Tirmidzi meriwayatkan juga -secara marfu’- bahwasanya Rasulullah
bersabda,’Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang menimpa
saudaramu, sehingga Allah merahmati saudaramu dan mendatangkan bencana
bagimu’.”[25]
Dan mungkin juga, maksud Nabi bahwa dosa celaanmu terhadap
saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang
dilakukannya itu. Karena celaanmu itu menunjukan tazkyiatun nafs (memuji diri
sendiri) dan mengklaim, bahwa engkau selalu di atas ketaatan dan telah berlepas
diri dari dosa, dan saudaramulah yang membawa dosa tersebut.
Maka bisa jadi, penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan
akibat yang timbul setelah itu, berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan
terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengakuan sucinya diri, rasa
sombong dan ujub, serta berdirinya dia di hadapan Allah dalam keadaan menunduk
dengan hati yang pasrah, lebih bermanfaat baginya dan lebih baik dibandingkan
dengan pengakuanmu bahwa engkau selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan
engkau menganggap diri banyak melakukan ketaatan kepada Allah. Bahkan engkau
merasa telah memberi sumbangsih kepada Allah dan kepada makhluk-makhlukNya
dengan ketaatanmu tersebut. Sungguh saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan-
(lebih) dekat kepada rahmat Allah. Dan betapa jauh orang yang ‘ujub dan merasa
memberi sumbangsih dengan amal ketaatannya karena kemurkaan Allah.
Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina di hadapan Allah
lebih disukai Allah, daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa
‘ujub. Sesungguhnya jika engkau tertidur pada malam hari (tidak melaksanakan
shalat malam), kemudian pada pagi hari engkau menyesal, lebih baik dari pada
jika engkau shalat malam kemudian pada pagi hari engkau merasa ‘ujub kepada diri
sendiri, karena sesungguhnya orang yang ‘ujub, amalnya tidak naik kepada Allah.
Engkau tertawa, sembari mengakui (kesalahan dan kekuranganmu itu) lebih baik
dari pada engkau menangis, namun engkau merasa ‘ujub.
Rintihan orang yang berdosa lebih disukai di sisi Allah dibanding
suara dzikir orang yang bertasbih namun ‘ujub. Bisa jadi, dengan sebab dosa yang
dilakukan oleh saudaramu, Allah memberikan obat kepadanya dan mencabut penyakit
yang membunuh dirinya, padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak
merasakannya.
Allah memiliki rahasia dan hikmah atas hamba-hambanya yang taat
dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan
orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu, kecuali hanya sekedar yang bisa
diperkirakan dan ditangkap oleh panca indra manusia. Namun di balik itu, ada
rahasia Allah yang tidak diketahui, bahkan oleh para malaikat pencatat amal.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ
وَلاَ يُثَرِّبْ
(Jika budak wanita milik salah seorang dari kalian berzina, maka
tegakkanlah hukuman had baginya dan janganlah mencelanya)[26] karena
sesungguhnya, penilaian adalah di sisi Allah dan hukum adalah milikNya. Dan
tujuannya ialah menegakkan hukuman had pada budak wanita tersebut, bukan
mencelanya.
Allah telah berkata tentang makhluk yang paling mengetahuiNya dan
yang paling dekat denganNya (yaitu Rasulullah): “Dan kalau Kami tidak memperkuat
(hati)mu, niscaya engkau hampir-hampir condong sedikit kepada mereka
(orang-orang kafir)”. (Al Isra/17 : 74). Nabi Yusuf telah berkata,”… Dan jika
tidak Engkau hindarkan tipu daya mereka dariku, tentu aku akan cenderung untuk
(memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.”
[Yusuf /12: 33].Nabi paling sering bersumpah dengan berkata لاَ وَمُقَلِّبِ
الْقُلُوْبِ (demi Dzat yang membolak-balikan hati manusia) [27]. Beliau
bersabda,”Tidak satu hati manusia pun, melainkan ia berada di antara dua jari
dari jari-jemari Allah. Jika Allah kehendaki, (maka) Allah akan memberi petunjuk
kepadanya. Dan jika Allah kehendaki, maka Allah akan menyesatkannya,”[28]
kemudian Beliau berdoa :
اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى
دِيْنِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah hati
kami di atas jalanMu.[29]
اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى
طَاعَتِكَ
Wahai Dzat yang memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah
hati kami untuk taat kepadaMu.[30]
Berdoa Kepada Allah Agar Ibadah Puasa Kita Diterima
Ibnu Rajab berkata,”Para salaf, mereka berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk menyempurnakan dan memperbaiki amalan mereka. Kemudian,
setelah itu mereka sangat memperhatikan agar amalan mereka diterima; mereka
takut jika amalannya tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang memberikan
apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. [Al Mukminun/ 40: 60].
Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Hendaklah kalian lebih
memperhatikan agar amal kalian diterima (setelah beramal), dari pada perhatian
kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang beramal). Apakah kalian tidak
mendengar firman Allah إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ
(Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa -Al Maidah/5 :
27).
Dari Fadhalah dia berkata: “Saya mengetahui, bahwa Allah menerima
amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai, daripada dunia dan
seisinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari
orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah/5 : 27)”.
Abu Darda berkata,”Saya mengetahui, bahwa Allah telah menerima
dariku satu shalat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya,
karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang
bertakwa. [Al Maidah/5 : 27]”[31]
Malik bin Dinar berkata,”Perasaan takut jikalau amalan tidak
diterima, lebih berat daripada beramal.” ‘Atha` As Sulami berkata,”Waspadalah,
jangan sampai amalanmu bukan karena Allah.”
Abdulaziz bin Abi Ruwwad berkata,”Aku mendapati mereka (para
salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal shalih. Namun jika mereka telah
selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah amalan mereka
diterima atau tidak?”
Oleh karena itu, para salaf setelah enam bulan berdoa agar
dipertemukan oleh Allah dengan Ramadhan. Mereka juga berdoa setelah Ramadhan
selama enam bulan agar amalan mereka diterima.[32]
Wuhaib bin Al Ward tatkala membaca firman Allah
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ
وَ إِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ
الْعَلِيْمُ
(Dan tatkala Ibrahim meninggikan (membina) pondasi Baitullah
bersama Isma’il (seraya berdoa): ”Wahai Rabb kami, terimalah dari kami (amalan
kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu -Al
Baqarah/2 ayat 127-, maka beliau (Wuhaib bin Al Ward)pun menangis, seraya
berkata: “Wahai kekasih Ar Rahman. Engkau meninggikan rumah Ar Rahman, lalu
engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar Rahman”[33]
Ibnul Qayyim menyatakan, perasaan puas (ridha)nya seseorang
terhadap amal ketaatan yang telah ia kerjakan, merupakan indikasi bahwasanya ia
tidak mengetahui terhadap keadaan dirinya. Dia tidak mengetahui hak-hak Alllah
dan bagaimana semestinya beribadah kepada Allah. Ketidaktahuan terhadap
kekurangan dirinya serta aib-aib yang terdapat dalam amal ketaatannya, dan
ketidaktahuannya terhadap kebesaran Allah dan hak-hakNya, menjadikan dia
berprasangka baik terhadap jiwanya yang penuh dengan kekurangan, sehingga
akhirnya ia puas dengan amal ketaatannya. Hal ini juga menimbulkan rasa ‘ujub
(takjub) dengan dirinya sendiri yang telah melaksanakan amal ketaatan, serta
menimbulkan perasaan sombong dan penyakit-penyakit hati lainnya, yang (tentunya)
lebih berbahaya dari pada dosa-dosa besar yang nampak, seperti zina, meminum
minuman keras, dan lari dari medan pertempuran. Jika demikian, merasa puas
terhadap amal ketaatan, merupakan kepandiran dan ketololan jiwa.
Jika kita perhatikan, ternyata orang-orang yang bertakwa dan ahli
ibadah, mereka sangat memohon ampunan Allah, justru tatkala mereka telah selesai
dari berbuat amal ketaatan. Hal ini, karena mereka mengakui kekurangan, tatkala
mereka beramal. Dan mereka mengakui, bahwa amal ketaatan mereka tidak sesuai
dengan kebesaran dan keagungan Allah. Seandainya bukan karena perintah Allah
untuk beramal, maka mereka akan malu menghadap Allah dengan ibadah mereka yang
penuh kekurangan; dan mereka tidak ridha menyerahkan ibadah yang penuh
kekurangan tersebut kepada Allah. Namun mereka tetap beribadah menjalankan
perintah Allah, walaupun penuh kekurangan.
Baca Juga Renungan Mengenai Pemutus Kenikmatan
Allah telah memerintahkan para jama’ah haji (pengunjung rumah
Allah) untuk beristigfar setelah selesai dari manasik haji yang paling agung dan
mulia, yaitu wukuf di Arafah. Allah berfirman, yang artinya : Maka apabila
kalian telah beranjak dari Arafah berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram.
Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukanNya kepada
kalian, dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang
yang sesat. Kemudian beranjaklah kalian dari tempat bertolak orang-orang banyak
(yaitu Arafah), dan mohon ampunlah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Baqarah/2 : 198-199].
Allah juga berfirman وَالْمُسْتَغْفِرِيْنََ بِالأَسْحَارِ (Dan
yang memohon ampun pada waktu sahur. -Ali Imran/3 ayat 17-). Berkata Hasan Al
Bashri: “Mereka memanjangkan shalat malam hingga tiba waktu sahur (menjelang
terbit fajar), lalu mereka duduk dan beristighfar kepada Allah”. Dan dalam
hadits yang shahih disebutkan, jika Nabi telah salam dari shalat, Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar tiga kali.[34]
Allah memerintah Nabi untuk beristighfar setelah selesai
menyampaikan risalah kenabiannya -dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menunaikannya dengan baik-, demikian juga setelah menyelesaikan ibadah haji
serta menjelang wafat Beliau. Maka Allah berfirman di dalam surat yang turun
terakhir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk agama Allah
dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah
ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha menerima taubat”. [An Nashr /110
ayat 1-3].
Dengan turunnya surat ini, maka Umar dan Ibnu Abbas mengetahui,
bahwa ini merupakan pemberitahuan Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , sebagai tanda telah dekatnya ajal Rasulullah. Maka Allah memerintahkan
Beliau untuk beristighfar setelah menunaikan tugas mengemban risalah Allah. Hal
ini seakan-akan sebagai pemberitahuan, bahwa engkau (wahai Rasulullah) telah
menunaikan kewajibanmu dan tidak ada lagi tugas yang lain, maka jadikanlah
penutupnya adalah istighfar. Sebagaimana juga penutup shalat, haji, shalat
malam. Juga setelah wudhu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :[35]
سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ
إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ أَللهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ
التَّوَّابِيْنَ و اجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ .
Demikianlah keadaan orang-orang yang mengetahui apa yang
semestinya bagi Allah dan sesuai dengan keagunganNya, dan mengerti tentang
hak-hak ibadah dan persyaratannya.
Berkata sebagian orang bijak: “Kapan saja engkau ridha (merasa
puas) dengan dirimu dan amalanmu bagi Allah, (maka) ketahuilah, sesungguhnya
Allah tidak ridha dengan amalmu tersebut. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa
pada dirinya merupakan tempat kesalahan, aib dan kejelekan, serta mengetahui
bahwa amalannya penuh dengan penyakit dan kekurangan, maka bagaimana ia bisa
merasa puas dengan amalannya? Bagaimana ia bisa ridha amalan tersebut bagi
Allah?”
Sungguh indah perkataan Syaikh Abu Madin: “Barangsiapa yang
merealisasikan ibadahnya, maka dia akan memandang amal perbuatannya dengan
kacamata riya’. Dia memandang keadaannya dengan pengakuan belaka, dan memandang
perkataannya dengan kedustaan belaka. Semakin besar apa yang engkau harapkan di
hatimu, maka akan semakin kecil jiwamu di hadapanmu, dan semakin sedikit pula
nilai pengorbanan yang telah engkau keluarkan demi meraih harapanmu yang besar.
Semakin engkau mengakui hakikat rububiyah Allah dan hakikat ‘ubudiyah, serta
semakin engkau mengenal Allah dan mengenal dirimu sendiri, maka akan semakin
jelas bagimu, bahwa apa yang ada pada dirimu berupa amal ketaatan, tidaklah
pantas untuk diberikan kepada Allah. Walaupun engkau datang dengan membawa
amalanmu (yang beratnya seperti amalan seluruh) jin dan manusia, maka engkau
akan tetap takut dihukum Allah (karena engkau takut tidak diterima, Pen).
Sesungguhnya Allah menerima amalanmu karena kemurahan dan kemuliaan serta
karuniaNya kepadamu. Dia memberi pahala dan ganjaran kepadamu, juga karena
kemuliaan, kemurahan dan karuniaNya”.[36]
Syaikh Abdurrahman As Sudais berkata,”Ketahuilah
saudara-saudaraku, sebagaimana kalian menyambut kedatangan bulan suci ini,
kalian juga tidak lama kemudian akan berpisah dengannya. Apakah engkau tahu,
wahai hamba Allah, apakah engkau akan bisa bertemu dengan akhir bulan ini?
Ataukah engkau tidak akan menemuinya? Demi Allah, kita tidak tahu, sedangkan
kita setiap hari menyalatkan puluhan jenazah. Dimanakah mereka yang dulu
berpuasa bersama kita? Seorang yang bijak akan menjadikan ini semua untuk
bermuhasabah dan meluruskan kepincangan, membuangnya dari jalan ketaatan sebelum
ajal menjemputnya dengan tiba-tiba; sehingga saat itu tidak ada bermanfaat,
kecuali amal shalih. Ikrarkanlah janji kepada Rabb kalian di tempat yang suci
ini; dan pada bulan suci yang penuh barakah ini untuk bertaubat dan penyesalan,
serta melepaskan diri dari kekangan kemaksiatan dan dosa. Bersungguh-sungguhlah
untuk mendoakan kebaikan bagi diri kalian dan saudara-saudara kalian, kaum
muslimin.”[37]
Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Maraji`:
-
Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, tahqiq Abdulaziz bin Nasir
Al Julaiyil, Dar Ath Thaibah.
-
Wazhaif Ramadhan, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim.
-
Ahaditsu As Siyam, Ahkamuhu Wa Adabuhu, Syaikh Abdullah Al
Fauzan.
-
Tafsir Al Qur`an Al Karim, Syaikh ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
-
Ramadhan Fursah Lit Taghyir, Muhammad bin Abdillah Al Habda.
-
Kaukabah Al Khutab Al Munifah Min Mimbar Al Ka’bah Asy
Syarifah, Syaikh Abdurrahman bin Abdulaziz As Sudais.
-
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Darus Salam, Riyadh.
-
Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, Dar Ihya At Turots Al
‘Arabi.
-
Tafsir Ibnu Katsir.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426/2005M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak
Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
-
[1] Yang menyedihkan, ada di antara mereka yang
mengatas namakan dunia yang mereka kejar tersebut dengan nama agama. Ada juga
yang berdalih, bahwa apa yang mereka lakukan tersebut hukumnya boleh dan demi
membantu orang lain. Ketahuilah saudaraku, carilah amalan yang terbaik dan bisa
mendatangkan pahala sebanyak mungkin pada bulan suci ini. Umur kita terbatas.
Renungkanlah!
-
[2] Disadur dari perkataan Syaikh Abdullah Al
Fauzan di dalam kitabnya, Ahaditsus Siyam, hlm. 14-15.
-
[3] Wadzaif Ramadhan, hlm. 11. Adakah di antara
kita yang senantiasa berdoa untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan? Jangankan
untuk berdoa selama enam bulan agar berjumpa dengan Ramadhan, bahkan mungkin
masih banyak di antara kita yang tidak berdoa selama seminggu agar bersua dengan
Ramadhan. Hal ini tidak lain, karena kita kurang mengagungkan nilai Ramadhan
sebagaimana para salaf. Atau bahkan mungkin di antara kita ada yang tidak pernah
berdoa sama sekali untuk berjumpa dengan Ramadhan?
-
[4] Lihat khutbah Syaikh As Sudais dalam Kaukabah Al Khutab Al Munifah, hlm. 230-231.
-
[5] Tafsir Al Qur`an Al Karim, tafsir surat Al Baqarah (2/317).
-
[6] Lihat risalah Ramadhan Fursah Lit Taghyir, hlm. 13-14.
-
[7] Wadzaif Ramadhan, hlm. 21
-
[8] Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya. Ibnu Rajab berkata,”Jika dia meniatkan makan dan minumnya untuk
menguatkan tubuh guna melaksanakan shalat malam dan puasa, maka dia akan diberi
pahala (oleh Allah) karena niatnya tersebut (makan dan minumnya dinilai ibadah
oleh Allah, pen). Demikian juga, jika dia meniatkan dengan tidurnya pada malam
hari ataupun siang hari agar kuat untuk beramal (shalih), maka tidurnya itu termasuk ibadah.” (Wadzaif Ramadhan, hlm. 24).
-
[9] Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 237.
-
[10] Yaitu mengamalkan konsekwensi dari kedustaan tersebut (Al Fath, 4/151).
-
[11] Syaikh Abdullah Al Fauzan menjelaskan, yaitu melakukan sesuatu yang merupakan tindakan orang-orang bodoh, seperti
berteriak-teriak dan hal-hal yang bodoh lainnya. (Ahaditsu Siyam, hlm. 74).
-
[12] HR Al Bukhari, no. 1903, 6057. Ibnu At Thin berkata,”Zhahir hadits menunjukkan, barangsiapa berbuat ghibah tatkala sedang
puasa, maka puasanya batal. Demikianlah pendapat sebagian Salaf. Adapun jumhur
ulama berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak batal). Namun menurut mereka,
makna dari hadits ini, bahwasanya ghibah termasuk dosa besar, dan dosanya tidak
bisa sebanding dengan pahala puasanya. Maka seakan-akan dia seperti orang yang
batal puasanya.” (Al Fath, 10/582). Lihat Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 229.
-
[13] Wadzaif Ramadhan, hlm. 12.
-
[14] Ibnu Katsir menjelaskan, di antara
bentuk-bentuk meninggalkan (tidak mengacuhkan) Al Qur`an ialah tidak mengamalkan
perintah-perintah yang terdapat di dalam Al Qur`an, tidak menjauhi
larangan-larangan yang terdapat di dalam Al Qur`an, berpaling dari (kebiasaan
membaca) Al Qur`an dan menggantikannya dengan membaca syair-syair atau
perkataan-perkataan atau lagu atau perkara sia-sia, yang tidak berlandaskan Al
Qur`an. (Tafsir Ibnu Katsir pada surat Al Furqan ayat 30).
[15] Wadzaif Ramadhan, hlm 42. Sebagian Salaf berkata,”Al Qur`an diturunkan untuk dipraktekan (dalam
kehidupan). Namun manusia menjadikan membaca Al Qur`an itulah bentuk
mengamalkannya.”
[16] Wadzaif Ramadhan, hlm.
43.
-
[17] Berdasarkan perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan dalam kitabnya,
Ahaditsus Siyam, hlm. 46-48.
-
[18] HR Ahmad (3/93) dan Abu Dawud. Dishahihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah (4/134) dan beliau berkata: “Isnadnya
shahih sesuai dengan persyaratan (kriteria) Bukhari dan Muslim”.
-
[19]
Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, bab Al Kaisu Lak Dana
Nafsahau…. Setelah menyebutkan hadits “Al kaisu….dst”, beliau berkata: “Dan
diriwayatkan oleh Umar bin Al Khaththab, ia berkata,’Hisablah….’.” Atsar ini
juga disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya. Demikian juga Ibnul
Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/319).
-
[20] Hilyatul Auliya` (2/157).
-
[21]
Madarijus Salikin (1/321).
-
[22] Madarijus Salikin (1/ 321-324).
-
[23] HR At
Tirmidzi, no 2505, dan beliau berkata: “Ini adalah hadits hasan gharib”. Al
Mubarakfuri berkata,”Hadits ini munqati’. Meski demikian, At Tirmidzi
menghasankannya. Kemungkinan karena ada jalan yang lain atau ada syahid bagi
hadits ini, maka inqita’ (sanadnya yang terputus) tidak mempengaruhinya.”(Lihat
Tuhfatul Ahwadzi, 7/251). Namun Syaikh Al Albani menghukumi, hadits ini adalah
hadits maudhu’ (palsu) dalam Dha’if Sunan At Tirmidzi, no. 449 dan dalam
Dha’iful Jami’, no. 5710.
-
[24] Sebagaimana penafsiran ini dibawakan juga oleh At
Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini.
-
[25] HR At Tirmidzi, no 2506, dan ia
berkata: “Ini adalah hadits hasan gharib”, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Dha’if Sunan At Tirmidzi, no 450.
- [26] HR Al Bukhari, 2152.
-
[27] HR Al
Bukhari, 6617, 6628.
-
[28] HR Ibnu Majah, no 99; Ahmad 4/182; dan dishahihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah.
-
[29] Dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi, 1739.
- [30] HR Muslim, no. 2654.
-
[31] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Maidah ayat 27.
-
[32] Atsar-atsar
tersebut disampaikan oleh Ibnu Rajab dalam Wazdaif Ramadhan, hlm. 73, kecuali
atsar Abu Darda’
-
[33] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Baqarah ayat 127
-
[34]
HR Muslim 591 dan Abu Dawud, 1512.
-
[35] Hadits ini tersusun dari dua hadits.
Yang pertama diriwayatkan oleh An Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum Wallailah, hlm.
173 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, no 2059. Adapun
hadits yang kedua diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no 55 dan dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani.
-
[36] Madarijus Salikin, 1/327-330.
[37] Dari kumpulan khutbah Jum’at beliau, Kaukabah Al Khutab Al Munifah (1/
235).
Rujukan:
almanhaj.or.id
Sumber Artikel; Almanhaj.or.id