Tampilkan postingan dengan label ibadah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ibadah. Tampilkan semua postingan

23 September, 2021

PENGERTIAN IBADAH DALAM ISLAM[1]

Ketujuh

PENGERTIAN IBADAH DALAM ISLAM[1]

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

  1. Definisi Ibadah

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1

Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

2

Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3

Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar

Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

 يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

 إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

C. Syarat Diterimanya Ibadah

Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

a

Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.

b

Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Baca Juga Keindahan Islam Yang Berupa Perintah-Perintah Dan Larangan-Larangan

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

 فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]

Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”

Jawabnya adalah sebagai berikut:

1

Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ

“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]

2

Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.

3

Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

4

Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
  1. Keutamaan Ibadah

Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Baca Juga Keutamaan Islam Dan Keindahannya

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.

Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.

Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.

Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]

Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.

Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.

Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]

Footnote/Bookmarks


[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.

[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H

[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.

[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.

[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.

[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma

[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).

[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.

[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.

Sumber Artikel (Referensi: Almanhaj.or.id

Penulis Salin; Rachmat.M.Flimban ; Date:

14 September, 2021

Mana Utama Sedekah kepada Saudara Sendiri atau Orang Lain?

BAHTSUL MASAIL, IBADAH,INFAQ

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Mana Utama Sedekah kepada Saudara Sendiri atau Orang Lain?

BAHTSUL MASAIL

Pada situasi tertentu sedekah kepada orang lain perlu diutamakan sejauh mereka lebih membutuhkan daripada kerabat sendiri.

Assalamu 'alaikum wr. wb. Redaksi NU Online, kami berupaya untuk rutin bersedekah tiap bulan dari pemasukan yang kami terima. Sedangkan kami bermukim di Inggris, jauh dari saudara. Sebaiknya sedekah itu yang dekat lokasi atau yang dekat kekerabatan? Atau bagaimana sebaiknya? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Ika/London)

Jawaban Wassalamu ‘alaikum wr. wb. Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Terkait tujuan sedekah apakah saudara sendiri atau orang lain banyak dibahas dalam sejumlah hadits. Tetapi kami akan mengutip beberapa untuk memenuhi keterangan terkait masalah ini. Berikut ini adalah hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud perihal keutamaan sedekah terhadap orang-orang terdekat dengan kita, yaitu orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggung jawab kita. Hadits ini kami kutip dari Kitab Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram karya Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Sayyid Alwi Abbas Al-Maliki (Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H) juz II, halaman 261.

عن أبي هريرة أنه قال يا رسول الله أي الصدقة أفضل قال جهد المقل وابدأ بمن تعول رواه أحمد وأبو داود وصححه ابن خزيمة وابن حبان والحاكم

Artinya, “Dari sahabat Abu Hurairah RA, ia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah sedekah yang paling utama?’ Rasul menjawab, ‘Sedekah orang sedikit harta. Utamakanlah orang yang menjadi tanggung jawabmu,’” (HR Ahmad dan Abu Dawud. Ini hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim). Adapun berikut ini adalah hadits riwayat Abu Dawud dan An-Nasa’i perihal keutamaan sedekah secara berjenjang terhadap diri sendiri, anak, pelayan, dan seterusnya. (An-Nuri dan Al-Maliki, 1996 M: II/262).

وعن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: تصدقوا. فقال رجل: يا رسول الله! عندي دينار

قال: تصدق به على نفسك، قال: عندي آخر، قال: تصدق به على ولدك، قال: عندي آخر، قال: تصدق به على خادمك،

قال: عندي آخر، قال: أنت أبصر به رواه أبو داود و النسائي ، وصححه ابن حبان و الحاكم

Artinya, “Dari sahabat Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda, ‘Sedekahlah kalian!’ Seorang sahabat berkata, ‘Ya Rasul, aku punya satu dinar?’ Rasul menjawab, ‘Sedekah kepada dirimu sendiri.’ Ia berkata, ‘Aku masih punya uang lagi?’ ‘Sedekah kepada anakmu,’ jawab Rasul. Ia berkata, ‘Aku masih punya uang?’ Rasul menjawab, ‘Sedekah kepada pelayanmu.’ Ia berkata lagi, ‘Aku masih punya uang lainnya?’ Rasul menjawab, ‘Kamu lebih tahu sedekah kepada siapa lagi.’” (HR Abu Dawud dan An-Nasai. Ini hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Berikut ini merupakan hadits panjang yang juga menjelaskan makna serupa, yaitu keutamaan sedekah terhadap pasangan, kerabat, dan keutamaan memprioritaskan mereka. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim ini kami kutip dari Kitab At-Targhib wat Tarhib minal Haditsis Syarif karya Syekh Zakiyyuddin Abdul Azhim Al-Mundziri (Beirut, Darul Fikr: 1998 M/1418 H) juz I, halaman 423.

عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنهما قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ قَالَتْ فَرَجَعْتُ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ فَقُلْتُ إِنَّكَ رَجُلٌ خَفِيفُ ذَاتِ الْيَدِ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَنَا بِالصَّدَقَةِ فَأْتِهِ فَاسْأَلْهُ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ يَجْزِي عَنِّي وَإِلَّا صَرَفْتُهَا إِلَى غَيْرِكُمْ قَالَتْ فَقَالَ لِي عَبْدُ اللَّهِ بَلْ ائْتِيهِ أَنْتِ قَالَتْ فَانْطَلَقْتُ فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِبَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجَتِي حَاجَتُهَا قَالَتْ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُلْقِيَتْ عَلَيْهِ الْمَهَابَةُ قَالَتْ فَخَرَجَ عَلَيْنَا بِلَالٌ فَقُلْنَا لَهُ ائْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبِرْهُ أَنَّ امْرَأَتَيْنِ بِالْبَابِ تَسْأَلَانِكَ أَتُجْزِئُ الصَّدَقَةُ عَنْهُمَا عَلَى أَزْوَاجِهِمَا وَعَلَى أَيْتَامٍ فِي حُجُورِهِمَا وَلَا تُخْبِرْهُ مَنْ نَحْنُ قَالَتْ فَدَخَلَ بِلَالٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ هُمَا فَقَالَ امْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ وَزَيْنَبُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الزَّيَانِبِ قَالَ امْرَأَةُ عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ رواه البخاري ومسلم واللفظ له

 Artinya, "Dari Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW suatu hari bersabda, ‘Wahai kalangan perempuan, sedekahlah kalian meski itu barang perhiasan kalian!’ aku kemudian pulang menemui Abdullah bin Mas’ud. Kubilang, ‘Kau ini pria yang fakir.

Sedangkan Rasulullah memerintahkan kami bersedekah. Temui dan tanyalah Rasulullah (soal sedekah kepadamu). Jika (sedekah kepada suami) itu memadai, (maka cukuplah bagiku). Tetapi jika tidak, aku akan menyalurkannya kepada orang lain.’

‘Tidak mau, kau saja yang menemuinya,’ kata Ibnu Mas’ud. Lalu aku berangkat. Tiba-tiba ada seorang perempuan di muka pintu Rasulullah yang memiliki hajat yang sama denganku. Sementara Rasulullah adalah pria yang berwibawa. Bilal keluar menemui kami. ‘Sampaikan, ‘Dua perempuan di muka pintu bertanya kepadamu. Apakah sedekah keduanya kepada suami mereka dan anak-anak yatim asuhan mereka itu memadai?’

Tapi jangan bilang siapa kami (yang bertanya),’ kubilang kepada Bilal. Ia kemudian masuk menemui Rasulullah dan menyampaikan pertanyaan kami. ‘Mereka berdua siapa?' kata Rasul kepada Bilal. ‘Satu perempuan Anshor. Satunya Zainab.’'Zainab yang mana?’ ‘Zainab istri Ibnu Mas’ud,’ jawab Bilal. Rasul berpesan kepada Bilal, ‘Mereka berdua mendapat dua pahala sekaligus, pertama pahala (menjaga) kekerabatan, kedua, pahala sedekah.’” (HR Bukhari dan Muslim. Lafal hadits oleh Imam Muslim). Adapun berikut ini adalah hadits riwayat An-Nasa’i dan At-Tirmidzi dengan muatan hadits yang serupa, yaitu perihal keutamaan sedekah terhadap kerabat dekat. (Al-Mundziri, 1998 M: I/424).

عن سلمان بن عامر عن النبي صلى الله عليه وسلم

قال الصدقة على المسكين صدقة وهي على ذي الرحم اثنتان صدقة وصلة رواه النسائي والترمذي

Artinya, “Dari Salman bin Amir RA, dari Nabi Muhammad SAW, ia bersabda, ‘Sedekah kepada orang miskin (bernilai) satu sedekah. Tetapi sedekah kepada kerabat (bernilai) dua sedekah, pertama pahala sedekah, kedua pahala (jaga) silaturrahim.’” (HR An-Nasai dan At-Tirmidzi).

Dari sejumlah hadits tersebut, kita dapat menarik simpulan bahwa sedekah dari hasil menyisihkan sebagian pendapatan ditujukan sebaiknya kepada orang yang dekat secara kekerabatan meski jauh secara geografis, untuk mendapatkan dua pahala sekaligus dan dua fungsi, yaitu ridha Allah dan menjaga silaturahim. Adapun menurut hemat kami, pada situasi tertentu pemberian sedekah kepada orang lain perlu diutamakan sejauh mereka lebih membutuhkan daripada kerabatnya sendiri. Sedangkan sedekah terhadap kerabat sendiri dalam kondisi demikian dapat dilakukan sesekali saja dalam rangka menghangatkan hubungan kekerabatan dan silaturahim.

Lain soal jika kerabatnya masih membutuhkan, tentu mereka harus diprioritaskan karena sabda Rasulullah SAW riwayat At-Thabarani, "...Wahai umat Muhammad, demi zat Allah yang mengutusku dengan hak, sungguh Allah tidak akan menerima sedekah seseorang (kepada orang lain) selagi ia memiliki kerabat yang masih membutuhkan bantuan dan pertolongannya," (Al-Mundziri, 1998 M: I/424) Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Alhafiz Kurniawan) TAGS: sedekah

Di Salin dari Sumber; Artikel--->: islam.nu.or.id

Penulis Salinan Artikel; Rachmat.M.Flimban


02 Mei, 2021

RENUNGAN DI BULAN RAMADHAN

Renungan Di Bulan Ramadhan
Ibadah, Renungan Di Bulan Ramadhan


Oleh;

Ustadz Firanda Ibnu Abidin As-Soronji

Merupakan nikmat yang besar kepada para hambaNya, yaitu Allah menjadikan waktu-waktu spesial yang penuh dengan berkah, agar para hambaNya memanfaatkan kesempatan emas tersebut dan berlomba-lomba meraih berkah sebanyak-banyaknya. 

Berjumpa dengan bulan Ramadhan merupakan kenikmatan yang sangat besar. Maka selayaknya seorang muslim benar-benar merasakan dan menjiwai nikmat tersebut. Betapa banyak orang yang terhalang dari nikmat ini, baik karena ajal telah menjemput, atau karena ketidakmampuan beribadah sebagaimana mestinya, karena sakit atau yang lainnya, ataupun karena mereka sesat dan masa bodoh terhadap bulan yang mulia ini. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim bersyukur kepada Allah atas karuniaNya ini. Berdoa kepadaNya agar dianugerahi kesungguhan serta semangat dalam mengisi bulan mulia ini, yaitu dengan ibadah dan dzikir kepadaNya.

 Yang menyedihkan, banyak orang tidak mengerti kemuliaan bulan suci ini. Tidak menjadikan bulan suci ini sebagai lahan untuk memanen pahala dari Allah dengan memperbanyak beribadah, bersedekah dan membaca Al Qur`an. Namun bulan yang agung ini, mereka jadikan musim menyediakan dan menyantap aneka ragam makanan dan minuman, menyibukkan kaum ibu terus berkutat dengan dapur. Sebagian yang lain ada yang memanfaatkan bulan mulia ini hanya dengan bergadang dan ngobrol hingga pagi, kemudian pada siang harinya dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Bahkan ada yang terlambat untuk shalat berjamaah di masjid. Ataupun tatkala shalat di masjid, ia berangan-angan agar sang imam segera salam. Sebagian yang lain ada yang mengenal bulan suci ini sebagai musim untuk mengeruk duit sebanyak-banyaknya. Lowongan-lowongan pekerjaan ditelusurinya sebagai upaya memperoleh kesempatan mengeruk dunia[1]. Sebagian yang lain sangat giat berjual beli, stand bye di pasar dan meninggalkan masjid. Kalaupun shalat di masjid, mereka shalat dalam keadaan terburu-buru. Wallahul musta’an…[2] .

  Barangsiapa yang mengetahui keagungan bulan suci ini, maka dia akan benar-benar rindu untuk bertemu dengannya. Para salaf sangat merasakan keagungan bulan suci ini, sehingga kehadirannya selalu dinanti-nanti oleh mereka. Bahkan jauh sebelumnya, mereka telah mempersiapkan perjumpaan itu.

 Mu’alla bin Al Fadhl berkata,”Mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan … .”[3]

Pujilah Allah dan bersyukurlah kepadaNya karena telah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan tentram dan damai. Renungkanlah, bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di Palestina, Checnya, Afghanistan, Iraq dan negeri-negeri yang lainnya? Bagaimanakah keadaan mereka dalam menyambut bulan suci ini? Musibah demi musibah, derita demi derita menimpa mereka. Dengan derita dan tangisanlah mereka menyambut bulan suci ini.

Dengan beraneka ragam makanan kita berbuka puasa. Lantas, dengan apakah saudara-saudara kita di Somalia berbuka puasa? Mereka terus menghadapi bencana busung lapar[4].

Ramadhan Adalah Kesempataan Emas Untuk Menjadi Orang yang Bertakwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

 يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. [Al Baqarah/2 : 183] .

 Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata,”لَعَلَّ adalah untuk ta`lil (menjelaskan sebab). Hal ini menjelaskan hikmah (tujuan) diwajibkannya puasa. Yaitu, agar kalian (menjadi orang-orang yang) bertakwa kepada Allah. Inilah hikmah (yang utama) dari ibadah puasa. Adapun hikmah-hikmah puasa yang lainnya, seperti kemaslahatan jasmani atau kemaslahatan sosial, maka hanyalah mengikutinya (bukan hikmah yang utama, pen).”[5]

Betapa banyak manusia pada zaman ini, jika dikatakan kepada mereka “bertakwalah engkau kepada Allah”, maka merah padamlah wajahnya karena marah dan tertipu dengan dirinya sendiri. Dia menganggap dirinya telah bertakwa kepada Allah, sehingga merasa tersinggung jika dikatakan padanya untuk bertakwa kepada Allah.

Ibnu Mas’ud berkata, ”Cukuplah sesorang itu berdosa jika dikatakan kepadanya “bertakwalah kepada Allah”, lantas ia berkata ‘Urus dirimu sendiri, orang seperti kamu mau menasihatiku?’ .”

Pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid keluar naik kendaraan untanya yang mewah dan penuh hiasan, lalu seorang Yahudi berkata kepadanya: “Wahai, Amirul Mukminin. Bertakwalah engkau kepada Allah,” maka beliaupun turun dari kendaraannya dan sujud kepada Allah di atas tanah dengan penuh tawadhu` dan khusyu. Khalifah kemudian memerintahkan agar kebutuhan orang Yahudi tersebut dipenuhi.

Tatkala ditanyakan mengapa Khalifah memerintahkan demikian, beliau menjawab: “Tatkala saya mendengar perkataan orang Yahudi tersebut, saya teringat firman Allah

 وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

(Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”. -Al Baqarah ayat 206-), maka saya khawatir, saya adalah orang yang disebut Allah tersebut”[6]

Oleh karena itu, puasa merupakan kesempatan emas untuk melatih diri kita untuk bertakwa kepada Allah.

Sebagian Salaf menyatakan, puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum. Jabir berkata,”Jika engkau berpuasa, maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu juga ikut berpuasa… Dan tatkala berpuasa, janganlah engkau menjadikan keadaanmu seperti keadaanmu tatkala tidak berpuasa.”[7] Abul ‘Aliah mengatakan, orang yang berpuasa senantiasa berada dalam ibadah, walaupun dia dalam keadaan tidur di atas tempat tidurnya, (yakni) selama tidak ghibah (menggunjing) orang lain[8].

Syaikh As Sudais berkata,”Dan apakah mereka telah merealisasikan dan menerapkan apa yang menjadi tujuan disyariatkannya puasa (yaitu untuk bertakwa kepada Allah)? Ataukah masih banyak di antara mereka yang tidak mengetahui hikmah disyari’atkannya puasa dan melupakan buah manis dari ketakwaan serta jalan-jalan ketakwaan yang bercahaya, sehingga mencukupkan puasa hanya dengan menahan diri dari makanan dan minuman serta pembatal-pembatal puasa yang zhahir?” [9]

Beliau juga berkata,”Sebagian orang tidak mengetahui hakikat puasa. Mereka membatasi makna puasa, yaitu hanya menahan diri dari makan dan minum. Maka engkau lihat sebagian mereka, puasanya tidak bisa mencegah (kejahatan) lisannya, sehingga terjerumus dalam ghibah, namimah dan dusta. Demikian juga, mereka membiarkan telinga dan mata mereka berkeliaran, sehingga terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَيْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya[10] serta berbuat kebodohan [11], maka Allah tidak butuh kepada puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya.[12]

Ibnu Rajab berkata,”Barangsiapa yang pada bulan Ramadhan ini tidak beruntung, maka kapan lagi dia bisa beruntung? Barangsiapa yang pada bulan suci ini tidak bisa mendekatkan dirinya kepada Allah, maka sungguh dia sangat merugi.”[13]

Jadilah kita seperti kupu-kupu yang menyenangkan dan indah jika dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan di antara tanaman, padahal sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak dedaunan dan merupakan hama tanaman. Namun setelah berpuasa beberapa saat dalam kepompongnya, berubahlah ulat tersebut menjadi kupu-kupu yang indah.

Puasa Merupakan Kesempatan Untuk  Membiasakan Diri Mentadabburi Al-Qur’an

Betapa banyak orang yang telah berpaling dari Al Qur`an dan meninggalkan membaca Al Qur`an. Atau tatkala membacanya, tanpa disertai dengan mentadabburi (perenungan) kandungan maknanya. Sehingga pada sebagian orang, Al Qur`an menjadi sesuatu yang terlupakan [14].

Ibnu Rajab berkata,”Allah mencela orang-orang yang membaca Al Qur`an tanpa memahami (mentadaburi) maknanya. Allah berfirman وَمِنْهُمْ أُمِّيُّوْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ (Dan di antara mereka ada yang buta huruf tidak mengetahui Al Kitab (At Taurat), kecuali hanya dongengan belaka.” –Al Baqarah/2 ayat 78-). Yaitu dalam membacanya tanpa memahami maknanya. Tujuan diturunkannya Al Qur`an adalah untuk difahami maknanya dan untuk diamalkan, bukan hanya sekedar untuk dibaca.” [15]

Tatkala tiba bulan Ramadhan Az Zuhri berkata: “Ramadhan itu adalah membaca Al Qur`an dan memberi makan (fakir miskin)”.

Ibnu Abdilhakim berkata,”Jika tiba bulan Ramadhan, Imam Malik menghindar dari membacakan hadits dan bertukar pikiran dengan ahli ilmu. Beliau berkonsentrasi membaca Al Qur`an dari mushaf”.

Abdurrazak berkata,”Jika masuk bulan Ramadhan, Ats Tsauri meninggalkan seluruh ibadah dan memfokuskan pada membaca Al Qur`an.”

Ibnu Rajab berkata,”Pada bulan Ramadhan, para salaf berkonsentrasi membaca Al Qur`an. Di antara mereka ada yang mengkhatamkan Al Qur`an setiap minggu, ada yang setiap tiga hari, ada juga yang menamatkan dalam waktu dua malam.

Bahkan ada di antara mereka pada saat sepuluh malam yang terakhir, menamatkan Al Qur`an setiap malam. Adapun hadits yang menjelaskan larangan mengkhatamkan Al Qur`an kurang dari tiga hari, maka maksudnya, jika dilaksanakan terus-menerus. Adapun menamatkan Al Qur`an pada waktu-waktu (tertentu) yang mulia, seperti pada bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam yang diharapkan, yaitu Lailatul Qadar, juga di tempat-tempat yang mulia; maka yang demikian itu disunnahkan agar memperbanyak membaca Al Qur`an untuk memanfaatkan kesempatan berada di tempat dan waktu yang mulia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan yang lainnya, dan merupakan hal yang diamalkan oleh selain mereka.” [16]

Di antara adab-adab tatkala membaca Al Qur`an.[17]

  1. Hendaknya membaca dengan tartil, memperhatikan hukum-hukum tajwid disertai dengan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Jika ayat yang dibaca berkaitan dengan kekurangan atau kesalahannya, maka hendaknya dia beristighfar. Jika melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat Allah, maka hendaknya dia meminta kepada Allah rahmat Allah tersebut. Jika melewati ayat-ayat tentang adzab, maka hendaknya dia takut dan berlindung kepada Allah dari adzab tersebut. Oleh karena itu, jika membaca Al Qur`an dengan cepat dan kurang memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka sulit untuk mempraktekan tadabbur Al Qur`an. Bahkan membaca Al Qur`an dengan cepat tanpa aturan, terkadang hukumnya bisa menjadi haram, jika sampai menimbulkan perubahan huruf-huruf (tidak keluar sesuai dengan makhrajnya), karena menyebabkan terjadinya perubahan atas Al Qur`an. Adapun jika membaca dengan cepat, namun tetap memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka tidak mengapa, karena sebagian orang mudah bagi lisannya membaca Al Qur`an (dan sebagian orang bisa mentadabburi Al Qur`an walaupun dibaca dengan cepat).

  2. Hendaknya tidak memotong pembacaan Al Qur`an hanya karena ingin ngobrol dengan teman duduk di sampingnya. Sebagian orang, jika sedang membaca Al Qur`an kemudian di sampingnya ada seorang sahabatnya, maka diapun sering memotong bacaannya untuk ngobrol dengan temannya tersebut. Perbuatan seperti ini semestinya tidak dilakukan, karena termasuk dalam kategori berpaling dari Al Qur`an tanpa adanya kebutuhan.

  3. Tidak membaca Al Qur`an dengan suara keras sehingga mengganggu orang yang berada di sekitarnya yang sedang membaca Al Qur`an juga, atau sedang shalat, atau sedang tidur. Nabi telah melarang perihal ini.

Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata: “Nabi i’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar orang-orang membaca Al Qur`an dengan suara yang keras, dan Nabi sedang berada di dalam tenda i’tikafnya. Beliaupun membuka sitar (kain penutup) tendanya, kemudian berkata: “Kalian semuanya sedang bermunajat dengan Rabb-nya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain. Janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya tatkala membaca Al Qur`an” atau Beliau berkata: “Tatkala (membaca Al Qur`an) dalam shalat”.[18]

Ramadhan Adalah Kesempatan Untuk Instropeksi Diri

Umar Al Faruq berkata :

حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر

Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan berhiaslah (beramal shalihlah) untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba.[19]

 Allah berfirman يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ (Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah) -Al Haqqah/69 : 18).

Benarlah yang diucapkan oleh Al Faruq, sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini, jauh lebih ringan daripada hisab Allah pada hari akhir nanti, (yaitu) tatkala rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah Allah.

Baca Juga  Zuhud Sunni, Zuhud Shifi

Apabila Ibu Hamil Dan Menyusui Berpuasa Dan yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang sifatnya : … tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun. [Al Kahfi/18 : 49].

Al Hasan berkata,”Seorang mukmin adalah pengendali dirinya. (Hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allah. Yang menyebabkan suatu kaum hisabnya ringan di akhirat kelak ialah, karena mereka telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan yang menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum pada hari kiamat kelak ialah, karena mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhasabah (di dunia).”[20]

Hakikat muhasabah ialah, menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga, dengan perbandingan ini diketahui mana dari keduanya yang terbanyak.[21]

Ibnul Qayyim menjelaskan,”Namun, muhasabah ini akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah (istidraj).”

Pertama : Cahaya hikmah, yaitu ilmu; yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudharat, yang sempurna dan yang kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, ia bisa mengetahui tingkatan amalan yang ringan dan yang berat, yang diterima dan yang ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang, maka ia akan semakin tepat dalam perhitungannya (muhasabah).

Kedua : Adapun berprasangka buruk kepada diri sendiri sangat dibutuhkan (dalam muhasabah). Karena berbaik sangka kepada jiwa, dapat menghambat kepada sempurnanya pemeriksaan jiwa; sehingga bisa jadi, ia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan, dan (sebaliknya) memandang aibnya sebagai suatu kesempurnaan. Dan tidaklah berprasangka buruk kepada dirinya, kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya, maka ia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.

Ketiga : Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikanNya dan kasih-sayangNya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu.

Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini sebagai tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka ……

Ibnul Qayyim melanjutkan : …. semua kekuatan, baik yang nampak maupun yang batin, jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhai Allah, maka hal itu sebagai karunia Allah. Jika tidak demikian, maka kekuatan tersebut merupakan bencana.

Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalanNya, maka hal itu merupakan karunia Allah. Jika tidak, maka hanyalah merupakan bencana.

Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah, bukan untuk mengharapkan ganjaran dan terima kasih dari manusia, maka ia merupakan karunia Allah. Jika tidak demikian, maka harta itu hanyalah bumerang baginya ….

Dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta kecintaan mereka padanya, jika disertai dengan rasa tunduk, rendah dan hina di hadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya, dan usahanya menasihati manusia, maka hal ini adalah karunia Allah. Jika tidak demikian, maka hanyalah bencana.

Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini, agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini[22].

Ketahuilah, termasuk kesempurnaan muhasabah, yaitu engkau mengetahui, bahwa setiap celaanmu kepada saudaramu yang berbuat maksiat atau aib, maka akan kembali kepadamu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya), maka dia tidak akan mati hingga dia melakukan kemaksiatan tersebut.[23]

Dalam menafsirkan hadits ini, Imam Ahmad berkata : “Yaitu (mencelanya karena) dosa (maksiat), yang ia telah bertaubat darinya”[24].

Ibnul Qayyim berkata: Dan juga pada celaan yang dibarengi rasa gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At Tirmidzi meriwayatkan juga -secara marfu’- bahwasanya Rasulullah bersabda,’Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang menimpa saudaramu, sehingga Allah merahmati saudaramu dan mendatangkan bencana bagimu’.”[25]

Dan mungkin juga, maksud Nabi bahwa dosa celaanmu terhadap saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang dilakukannya itu. Karena celaanmu itu menunjukan tazkyiatun nafs (memuji diri sendiri) dan mengklaim, bahwa engkau selalu di atas ketaatan dan telah berlepas diri dari dosa, dan saudaramulah yang membawa dosa tersebut.

Maka bisa jadi, penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat yang timbul setelah itu, berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengakuan sucinya diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia di hadapan Allah dalam keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, lebih bermanfaat baginya dan lebih baik dibandingkan dengan pengakuanmu bahwa engkau selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan engkau menganggap diri banyak melakukan ketaatan kepada Allah. Bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih kepada Allah dan kepada makhluk-makhlukNya dengan ketaatanmu tersebut. Sungguh saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- (lebih) dekat kepada rahmat Allah. Dan betapa jauh orang yang ‘ujub dan merasa memberi sumbangsih dengan amal ketaatannya karena kemurkaan Allah.

Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina di hadapan Allah lebih disukai Allah, daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa ‘ujub. Sesungguhnya jika engkau tertidur pada malam hari (tidak melaksanakan shalat malam), kemudian pada pagi hari engkau menyesal, lebih baik dari pada jika engkau shalat malam kemudian pada pagi hari engkau merasa ‘ujub kepada diri sendiri, karena sesungguhnya orang yang ‘ujub, amalnya tidak naik kepada Allah. Engkau tertawa, sembari mengakui (kesalahan dan kekuranganmu itu) lebih baik dari pada engkau menangis, namun engkau merasa ‘ujub.

Rintihan orang yang berdosa lebih disukai di sisi Allah dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun ‘ujub. Bisa jadi, dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu, Allah memberikan obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh dirinya, padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.

Allah memiliki rahasia dan hikmah atas hamba-hambanya yang taat dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu, kecuali hanya sekedar yang bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indra manusia. Namun di balik itu, ada rahasia Allah yang tidak diketahui, bahkan oleh para malaikat pencatat amal.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ وَلاَ يُثَرِّبْ

(Jika budak wanita milik salah seorang dari kalian berzina, maka tegakkanlah hukuman had baginya dan janganlah mencelanya)[26] karena sesungguhnya, penilaian adalah di sisi Allah dan hukum adalah milikNya. Dan tujuannya ialah menegakkan hukuman had pada budak wanita tersebut, bukan mencelanya.

Allah telah berkata tentang makhluk yang paling mengetahuiNya dan yang paling dekat denganNya (yaitu Rasulullah): “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya engkau hampir-hampir condong sedikit kepada mereka (orang-orang kafir)”. (Al Isra/17 : 74). Nabi Yusuf telah berkata,”… Dan jika tidak Engkau hindarkan tipu daya mereka dariku, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” [Yusuf /12: 33].Nabi paling sering bersumpah dengan berkata لاَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ (demi Dzat yang membolak-balikan hati manusia) [27]. Beliau bersabda,”Tidak satu hati manusia pun, melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jemari Allah. Jika Allah kehendaki, (maka) Allah akan memberi petunjuk kepadanya. Dan jika Allah kehendaki, maka Allah akan menyesatkannya,”[28] kemudian Beliau berdoa :

 اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ

Wahai Dzat yang membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah hati kami di atas jalanMu.[29]

 اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Wahai Dzat yang memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah hati kami untuk taat kepadaMu.[30]

Berdoa Kepada Allah Agar Ibadah Puasa Kita Diterima

Ibnu Rajab berkata,”Para salaf, mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyempurnakan dan memperbaiki amalan mereka. Kemudian, setelah itu mereka sangat memperhatikan agar amalan mereka diterima; mereka takut jika amalannya tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. [Al Mukminun/ 40: 60].

Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Hendaklah kalian lebih memperhatikan agar amal kalian diterima (setelah beramal), dari pada perhatian kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang beramal). Apakah kalian tidak mendengar firman Allah إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ (Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa -Al Maidah/5 : 27).

Dari Fadhalah dia berkata: “Saya mengetahui, bahwa Allah menerima amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai, daripada dunia dan seisinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah/5 : 27)”.

Abu Darda berkata,”Saya mengetahui, bahwa Allah telah menerima dariku satu shalat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. [Al Maidah/5 : 27]”[31]

Malik bin Dinar berkata,”Perasaan takut jikalau amalan tidak diterima, lebih berat daripada beramal.” ‘Atha` As Sulami berkata,”Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allah.”

Abdulaziz bin Abi Ruwwad berkata,”Aku mendapati mereka (para salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal shalih. Namun jika mereka telah selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah amalan mereka diterima atau tidak?”

Oleh karena itu, para salaf setelah enam bulan berdoa agar dipertemukan oleh Allah dengan Ramadhan. Mereka juga berdoa setelah Ramadhan selama enam bulan agar amalan mereka diterima.[32]

Wuhaib bin Al Ward tatkala membaca firman Allah

 وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ إِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

(Dan tatkala Ibrahim meninggikan (membina) pondasi Baitullah bersama Isma’il (seraya berdoa): ”Wahai Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu -Al Baqarah/2 ayat 127-, maka beliau (Wuhaib bin Al Ward)pun menangis, seraya berkata: “Wahai kekasih Ar Rahman. Engkau meninggikan rumah Ar Rahman, lalu engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar Rahman”[33]

Ibnul Qayyim menyatakan, perasaan puas (ridha)nya seseorang terhadap amal ketaatan yang telah ia kerjakan, merupakan indikasi bahwasanya ia tidak mengetahui terhadap keadaan dirinya. Dia tidak mengetahui hak-hak Alllah dan bagaimana semestinya beribadah kepada Allah. Ketidaktahuan terhadap kekurangan dirinya serta aib-aib yang terdapat dalam amal ketaatannya, dan ketidaktahuannya terhadap kebesaran Allah dan hak-hakNya, menjadikan dia berprasangka baik terhadap jiwanya yang penuh dengan kekurangan, sehingga akhirnya ia puas dengan amal ketaatannya. Hal ini juga menimbulkan rasa ‘ujub (takjub) dengan dirinya sendiri yang telah melaksanakan amal ketaatan, serta menimbulkan perasaan sombong dan penyakit-penyakit hati lainnya, yang (tentunya) lebih berbahaya dari pada dosa-dosa besar yang nampak, seperti zina, meminum minuman keras, dan lari dari medan pertempuran. Jika demikian, merasa puas terhadap amal ketaatan, merupakan kepandiran dan ketololan jiwa.

Jika kita perhatikan, ternyata orang-orang yang bertakwa dan ahli ibadah, mereka sangat memohon ampunan Allah, justru tatkala mereka telah selesai dari berbuat amal ketaatan. Hal ini, karena mereka mengakui kekurangan, tatkala mereka beramal. Dan mereka mengakui, bahwa amal ketaatan mereka tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah. Seandainya bukan karena perintah Allah untuk beramal, maka mereka akan malu menghadap Allah dengan ibadah mereka yang penuh kekurangan; dan mereka tidak ridha menyerahkan ibadah yang penuh kekurangan tersebut kepada Allah. Namun mereka tetap beribadah menjalankan perintah Allah, walaupun penuh kekurangan.

Baca Juga  Renungan Mengenai Pemutus Kenikmatan

Allah telah memerintahkan para jama’ah haji (pengunjung rumah Allah) untuk beristigfar setelah selesai dari manasik haji yang paling agung dan mulia, yaitu wukuf di Arafah. Allah berfirman, yang artinya : Maka apabila kalian telah beranjak dari Arafah berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukanNya kepada kalian, dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian beranjaklah kalian dari tempat bertolak orang-orang banyak (yaitu Arafah), dan mohon ampunlah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Baqarah/2 : 198-199].

Allah juga berfirman وَالْمُسْتَغْفِرِيْنََ بِالأَسْحَارِ (Dan yang memohon ampun pada waktu sahur. -Ali Imran/3 ayat 17-). Berkata Hasan Al Bashri: “Mereka memanjangkan shalat malam hingga tiba waktu sahur (menjelang terbit fajar), lalu mereka duduk dan beristighfar kepada Allah”. Dan dalam hadits yang shahih disebutkan, jika Nabi telah salam dari shalat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar tiga kali.[34]

Allah memerintah Nabi untuk beristighfar setelah selesai menyampaikan risalah kenabiannya -dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikannya dengan baik-, demikian juga setelah menyelesaikan ibadah haji serta menjelang wafat Beliau. Maka Allah berfirman di dalam surat yang turun terakhir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha menerima taubat”. [An Nashr /110 ayat 1-3].

Dengan turunnya surat ini, maka Umar dan Ibnu Abbas mengetahui, bahwa ini merupakan pemberitahuan Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagai tanda telah dekatnya ajal Rasulullah. Maka Allah memerintahkan Beliau untuk beristighfar setelah menunaikan tugas mengemban risalah Allah. Hal ini seakan-akan sebagai pemberitahuan, bahwa engkau (wahai Rasulullah) telah menunaikan kewajibanmu dan tidak ada lagi tugas yang lain, maka jadikanlah penutupnya adalah istighfar. Sebagaimana juga penutup shalat, haji, shalat malam. Juga setelah wudhu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :[35]

 سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ أَللهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ و اجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ .

Demikianlah keadaan orang-orang yang mengetahui apa yang semestinya bagi Allah dan sesuai dengan keagunganNya, dan mengerti tentang hak-hak ibadah dan persyaratannya.

Berkata sebagian orang bijak: “Kapan saja engkau ridha (merasa puas) dengan dirimu dan amalanmu bagi Allah, (maka) ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak ridha dengan amalmu tersebut. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa pada dirinya merupakan tempat kesalahan, aib dan kejelekan, serta mengetahui bahwa amalannya penuh dengan penyakit dan kekurangan, maka bagaimana ia bisa merasa puas dengan amalannya? Bagaimana ia bisa ridha amalan tersebut bagi Allah?”

Sungguh indah perkataan Syaikh Abu Madin: “Barangsiapa yang merealisasikan ibadahnya, maka dia akan memandang amal perbuatannya dengan kacamata riya’. Dia memandang keadaannya dengan pengakuan belaka, dan memandang perkataannya dengan kedustaan belaka. Semakin besar apa yang engkau harapkan di hatimu, maka akan semakin kecil jiwamu di hadapanmu, dan semakin sedikit pula nilai pengorbanan yang telah engkau keluarkan demi meraih harapanmu yang besar. Semakin engkau mengakui hakikat rububiyah Allah dan hakikat ‘ubudiyah, serta semakin engkau mengenal Allah dan mengenal dirimu sendiri, maka akan semakin jelas bagimu, bahwa apa yang ada pada dirimu berupa amal ketaatan, tidaklah pantas untuk diberikan kepada Allah. Walaupun engkau datang dengan membawa amalanmu (yang beratnya seperti amalan seluruh) jin dan manusia, maka engkau akan tetap takut dihukum Allah (karena engkau takut tidak diterima, Pen). Sesungguhnya Allah menerima amalanmu karena kemurahan dan kemuliaan serta karuniaNya kepadamu. Dia memberi pahala dan ganjaran kepadamu, juga karena kemuliaan, kemurahan dan karuniaNya”.[36]

Syaikh Abdurrahman As Sudais berkata,”Ketahuilah saudara-saudaraku, sebagaimana kalian menyambut kedatangan bulan suci ini, kalian juga tidak lama kemudian akan berpisah dengannya. Apakah engkau tahu, wahai hamba Allah, apakah engkau akan bisa bertemu dengan akhir bulan ini? Ataukah engkau tidak akan menemuinya? Demi Allah, kita tidak tahu, sedangkan kita setiap hari menyalatkan puluhan jenazah. Dimanakah mereka yang dulu berpuasa bersama kita? Seorang yang bijak akan menjadikan ini semua untuk bermuhasabah dan meluruskan kepincangan, membuangnya dari jalan ketaatan sebelum ajal menjemputnya dengan tiba-tiba; sehingga saat itu tidak ada bermanfaat, kecuali amal shalih. Ikrarkanlah janji kepada Rabb kalian di tempat yang suci ini; dan pada bulan suci yang penuh barakah ini untuk bertaubat dan penyesalan, serta melepaskan diri dari kekangan kemaksiatan dan dosa. Bersungguh-sungguhlah untuk mendoakan kebaikan bagi diri kalian dan saudara-saudara kalian, kaum muslimin.”[37]

Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maraji`:

  1. Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, tahqiq Abdulaziz bin Nasir Al Julaiyil, Dar Ath Thaibah.

  2. Wazhaif Ramadhan, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim.

  3. Ahaditsu As Siyam, Ahkamuhu Wa Adabuhu, Syaikh Abdullah Al Fauzan.

  4. Tafsir Al Qur`an Al Karim, Syaikh ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.

  5. Ramadhan Fursah Lit Taghyir, Muhammad bin Abdillah Al Habda.

  6. Kaukabah Al Khutab Al Munifah Min Mimbar Al Ka’bah Asy Syarifah, Syaikh Abdurrahman bin Abdulaziz As Sudais.

  7. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Darus Salam, Riyadh.

  8. Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, Dar Ihya At Turots Al ‘Arabi.

  9. Tafsir Ibnu Katsir.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


BookMark/Penanda Buku


  • [1] Yang menyedihkan, ada di antara mereka yang mengatas namakan dunia yang mereka kejar tersebut dengan nama agama. Ada juga yang berdalih, bahwa apa yang mereka lakukan tersebut hukumnya boleh dan demi membantu orang lain. Ketahuilah saudaraku, carilah amalan yang terbaik dan bisa mendatangkan pahala sebanyak mungkin pada bulan suci ini. Umur kita terbatas. Renungkanlah!

  • [2] Disadur dari perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan di dalam kitabnya, Ahaditsus Siyam, hlm. 14-15.

  • [3] Wadzaif Ramadhan, hlm. 11. Adakah di antara kita yang senantiasa berdoa untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan? Jangankan untuk berdoa selama enam bulan agar berjumpa dengan Ramadhan, bahkan mungkin masih banyak di antara kita yang tidak berdoa selama seminggu agar bersua dengan Ramadhan. Hal ini tidak lain, karena kita kurang mengagungkan nilai Ramadhan sebagaimana para salaf. Atau bahkan mungkin di antara kita ada yang tidak pernah berdoa sama sekali untuk berjumpa dengan Ramadhan?

  • [4] Lihat khutbah Syaikh As Sudais dalam Kaukabah Al Khutab Al Munifah, hlm. 230-231.

  • [5] Tafsir Al Qur`an Al Karim, tafsir surat Al Baqarah (2/317).

  • [6] Lihat risalah Ramadhan Fursah Lit Taghyir, hlm. 13-14.

  • [7] Wadzaif Ramadhan, hlm. 21

  • [8] Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya. Ibnu Rajab berkata,”Jika dia meniatkan makan dan minumnya untuk menguatkan tubuh guna melaksanakan shalat malam dan puasa, maka dia akan diberi pahala (oleh Allah) karena niatnya tersebut (makan dan minumnya dinilai ibadah oleh Allah, pen). Demikian juga, jika dia meniatkan dengan tidurnya pada malam hari ataupun siang hari agar kuat untuk beramal (shalih), maka tidurnya itu termasuk ibadah.” (Wadzaif Ramadhan, hlm. 24).

  • [9] Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 237.

  • [10] Yaitu mengamalkan konsekwensi dari kedustaan tersebut (Al Fath, 4/151).

  • [11] Syaikh Abdullah Al Fauzan menjelaskan, yaitu melakukan sesuatu yang merupakan tindakan orang-orang bodoh, seperti berteriak-teriak dan hal-hal yang bodoh lainnya. (Ahaditsu Siyam, hlm. 74).

  • [12] HR Al Bukhari, no. 1903, 6057. Ibnu At Thin berkata,”Zhahir hadits menunjukkan, barangsiapa berbuat ghibah tatkala sedang puasa, maka puasanya batal. Demikianlah pendapat sebagian Salaf. Adapun jumhur ulama berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak batal). Namun menurut mereka, makna dari hadits ini, bahwasanya ghibah termasuk dosa besar, dan dosanya tidak bisa sebanding dengan pahala puasanya. Maka seakan-akan dia seperti orang yang batal puasanya.” (Al Fath, 10/582). Lihat Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 229.

  • [13] Wadzaif Ramadhan, hlm. 12.
  • [14]  Ibnu Katsir menjelaskan, di antara bentuk-bentuk meninggalkan (tidak mengacuhkan) Al Qur`an ialah tidak mengamalkan perintah-perintah yang terdapat di dalam Al Qur`an, tidak menjauhi larangan-larangan yang terdapat di dalam Al Qur`an, berpaling dari (kebiasaan membaca) Al Qur`an dan menggantikannya dengan membaca syair-syair atau perkataan-perkataan atau lagu atau perkara sia-sia, yang tidak berlandaskan Al Qur`an. (Tafsir Ibnu Katsir pada surat Al Furqan ayat 30).

  • [15] Wadzaif Ramadhan, hlm 42. Sebagian Salaf berkata,”Al Qur`an diturunkan untuk dipraktekan (dalam kehidupan). Namun manusia menjadikan membaca Al Qur`an itulah bentuk mengamalkannya.”

  • [16] Wadzaif Ramadhan, hlm. 43.

  • [17] Berdasarkan perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan dalam kitabnya, Ahaditsus Siyam, hlm. 46-48.
  • [18] HR Ahmad (3/93) dan Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah (4/134) dan beliau berkata: “Isnadnya shahih sesuai dengan persyaratan (kriteria) Bukhari dan Muslim”.
  • [19] Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, bab Al Kaisu Lak Dana Nafsahau…. Setelah menyebutkan hadits “Al kaisu….dst”, beliau berkata: “Dan diriwayatkan oleh Umar bin Al Khaththab, ia berkata,’Hisablah….’.” Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya. Demikian juga Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/319).
  •  [20] Hilyatul Auliya` (2/157).
  • [21] Madarijus Salikin (1/321).
  • [22] Madarijus Salikin (1/ 321-324).
  • [23] HR At Tirmidzi, no 2505, dan beliau berkata: “Ini adalah hadits hasan gharib”. Al Mubarakfuri berkata,”Hadits ini munqati’. Meski demikian, At Tirmidzi menghasankannya. Kemungkinan karena ada jalan yang lain atau ada syahid bagi hadits ini, maka inqita’ (sanadnya yang terputus) tidak mempengaruhinya.”(Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/251). Namun Syaikh Al Albani menghukumi, hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu) dalam Dha’if Sunan At Tirmidzi, no. 449 dan dalam Dha’iful Jami’, no. 5710.
  • [24] Sebagaimana penafsiran ini dibawakan juga oleh At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini.
  • [25] HR At Tirmidzi, no 2506, dan ia berkata: “Ini adalah hadits hasan gharib”, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if Sunan At Tirmidzi, no 450.
  • [26] HR Al Bukhari, 2152.
  • [27] HR Al Bukhari, 6617, 6628.
  • [28] HR Ibnu Majah, no 99; Ahmad 4/182; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah.
  • [29] Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi, 1739.
  • [30] HR Muslim, no. 2654.
  • [31] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Maidah ayat 27.
  • [32] Atsar-atsar tersebut disampaikan oleh Ibnu Rajab dalam Wazdaif Ramadhan, hlm. 73, kecuali atsar Abu Darda’
  • [33] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Baqarah ayat 127
  • [34] HR Muslim 591 dan Abu Dawud, 1512.
  • [35] Hadits ini tersusun dari dua hadits. Yang pertama diriwayatkan oleh An Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum Wallailah, hlm. 173 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, no 2059. Adapun hadits yang kedua diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no 55 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
  • [36] Madarijus Salikin, 1/327-330.

  • [37] Dari kumpulan khutbah Jum’at beliau, Kaukabah Al Khutab Al Munifah (1/ 235).

Rujukan: almanhaj.or.id

Sumber Artikel; Almanhaj.or.id