Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan

17 Februari, 2022

Wanita Muslimah Menikah dengan Lelaki Non Muslim

FATWA ULAMA

Ketika Wanita Muslimah Menikah dengan Lelaki Non Muslim

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah– Soal :

Apabila ada seorang pria yang beragama Nasrani menikah dengan seorang Muslimah, lalu mereka mempunyai anak. Bagaimana status anak tersebut dalam syari’at Islam?

Jawab :

Pernikahan antara seorang lelaki Nasrani dengan seorang Muslimah adalah pernikahan yang batil. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا

"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman” (QS. Al-Baqarah: 221).

Maka tidak diperbolehkan lelaki kafir menikah dengan seorang wanita Muslimah. Allah Ta’ala juga berfirman :

لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ

“Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka” (QS. Al-Mumtahanah: 10).

Apabila lelaki tersebut menikahinya, maka pernikahannya tidak sah dan anak-anaknya adalah anak zina. Dan anak hasil zina itu dinasabkan hanya kepada ibunya, dan tidak boleh dinasabkan kepada bapaknya.

Kecuali apabila pasangan suami istri yang berbeda agama tersebut tidak memahami hukum Islam (tentang tidak bolehnya nikah beda agama), maka ini perkara yang berbeda. Pernikahan mereka tidak sah, namun anak-anak hasil pernikahan mereka boleh dinasabkan kepada bapaknya, disebabkan adanya udzur yaitu kebodohan mereka, karena senggama yang mereka lakukan adalah watho’ syubhah (senggama yang dilakukan atas dasar nikah yang syubhat).

Adapun jika pasangan tersebut sebenarnya sudah mengetahui hukum Islam (dalam masalah ini), akan tetapi mereka bermudah-mudahan (untuk menikah) dan tidak mempedulikan hukum Allah Ta’ala, maka anak-anaknya menjadi anak zina. Dan anak-anaknya dinasabkan hanya kepada ibunya, bukan kepada bapaknya.

Dan si lelaki ini wajib dijatuhi hukuman had (oleh pemerintah) dikarenakan hubungan biologisnya terhadap perempuan Muslimah tanpa hak. Hukum ini wajib ditegakkan apabila terjadi pada negeri yang punya kemampuan dalam menegakkan hukum islam.

Soal :

Bagaimana jika si lelaki tersebut masuk Islam?

Jawab :

Pertama, mereka harus dipisahkan dahulu. Kemudian jika si lelaki tersebut masuk Islam, maka ia harus menikah ulang dari awal. Jika masuk Islam dan Allah beri ia hidayah kepada Islam, maka ia menikah ulang dari awal.

***

Sumber: website binbaz.or.sa, url: https://bit.ly/2EEB4w2

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Pemuraja’ah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Join Channel Telegram Muslim.or.id

Dapatkan update artikel terbaru, nasihat singkat, free ebook, dan bahan untuk poster dakwah.

Sumber: Muslim.or



16 Januari, 2022

Hukum Tambahan Kata “Habibunaa"

MANHAJ; BID'AH, IBADAH, DZIKIR DAN DOA

SELENGKAPNYA TEKAN TOMBOL BUKA

Hukum Tambahan Kata “Habibunaa” dalam Shalawat?

Tambahan Kata Habibunaa dalam Shalawat

Bolehkah menambahkan habibina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalawat…

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sebelumnya kita akan mengenal istilah khalil [الخليل]. Ada beberapa tingkatan kedekatan antara seseorang dengan yang lainnya. Diantaranya adalah derajat al-Mahabbah [المحبة] dan al-Khullah [الخلة]. Orang yang berada di derajat al-Mahabbah disebut Habib, sementara orang yang berada di derajat al-Khullah disebut al-Khalil. Mungkin jika kita terjemahkan ke bahasa kita, al-Habib bisa diartikan kekasih, sementara al-Khalil diartikan kesayangan.

hukum-tambahan-kata-habibunaa-dalam-shalawat.

Antara Habib dan Khalil, Mana yang Lebih Dekat?

Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang memiliki Khalil selain Allah, sementara beliau boleh memiliki Habib di kalangan manusia. Berikut diantara dalilnya,

[1] Dari Jundab radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

“Aku mendengar, lima hari sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau pernah berpesan,

إِنِّى أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِى مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِى خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً

“Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil di antara kalian, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil. Seandainya aku boleh menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil.” (HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146).

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menjadikan manusia siapapun sebagai khalilnya, sampaipun orang yang terdekat, yaitu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.

[2] Dari Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ

“Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling anda cintai?

“Aisyah.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Dari kalangan lelaki?” Tanya Amr.

“Ayahnya.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Turmudzi 4260, Ibnu Hibban 7107 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Hadis ini menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh memiliki habib (kekasih) dari kalangan sahabatnya.

Hadis-hadis ini menjadi dalil pendapat sebagian ulama bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. Karena itulah, hanya ada 2 manusia yang diangkat oleh Allah sebagai khalilnya, Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ‘alaihis shalatu was salam.

Allah berfirman,

وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

“Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (QS. an-Nisa: 125).

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (HR. Muslim 1216 & Ibnu Majah 146)

Keterangan ini menguatkan kesimpulan bahwa khalil lebih istimewa dibandingkan habib. (Raudhatul Muhibbin, hlm. 49)

Karena itulah, dulu para sahabat menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khalil, dan bukan habib. Diantaranya,

[1] Pernyataan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu,

أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم-: لاَ تَشْرَبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ

Khalilku (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku, “Jangan minum khamr, karena ini kunci semua kejahatan.” (HR. Ibnu Majah 3496 dan dishahihkan al-Albani)

[2] Pernyataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ

“Khalilku berwasiat kepadaku dengan 3 hal, agar jangan sampai aku tinggalkan sampai mati, ‘Puasa 3 hari tiap bulan…’ (HR. Bukhari 1178)

[3] Pernyataan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,

أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ

“Khalilku berpesan kepadaku, agar aku mendengar dan mentaati pemerintah…” (HR. Ibnu Majah 2972 dan dishahihkan al-Albani).

Menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai habib kita, dibolehkan. Hanya saja, jika anda ingin memposisikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih istimewa lagi, sebutlah beliau dengan khalil.

Beberapa redaksi bacaan shalawat, seperti,

اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيبِنَا مُـحَمَّدٍ

Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Habib kita Muhammad

Bisa kita ganti dengan yang lebih sempurna,

اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَخَلِيلِنَا مُحَمَّدٍ

Ya Allah, berikanlah shalawat dan salam untuk Nabi kita dan Kholil kita Muhammad

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android. Download Sekarang !!

KonsultasiSyariah.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

SPONSOR hubungi: 081 326 333 328

DONASI hubungi: 087 882 888 727 REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK 🔍 Ajaran Islam Ldii, Foto Surga Firdaus, Nama Imam Mahdi, Hukum Memotong Rambut Kemaluan Dalam Islam, Doa Sebelum Berhubungan Intim Menurut Islam, Orang Yang Gendut, Operasi Jerawat

TAGS habibinahabibunanabi muhammadshalawatshalawat muhammadsholawat

Referensi: konsultasisyariah.com

Disalin dari SUMBER; konsultasisyariah.com

Penulis Salinan; Rachmat.M.Ma, Flimban

Wirid Agar Terhindar dari Bahaya     Qunut Nazilah Untuk Cegah Corona?     Baca Surat Al Kahfi Tidak Rampung Tetap Dapat Keutamaan?

15 November, 2021

ANAK ZINA MENJADI IMAM SHALAT?

HUKUM, SOAL JAWAB

ANAK ZINA MENJADI IMAM SHALAT?

Baca; Selengkapnya KLIK Tombol BUKA

Assalamu‘alaikum. Saya pernah mendengar bahwa anak di luar nikah tidak boleh menjadi imam dalam shalat selagi ada orang lain yang bukan anak di luar nikah yangg mampu menjadi imam. Apa benar demikian? Jika benar atau tidak benar apa dasar syar’inya? Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu‘alaikum.
JAWABAN: Sesungguhnya syari’at Islam telah menjelaskan dengan lengkap tentang orang yang lebih berhak menjadi imam dalam shalat jama’ah. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ الأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله ﷺ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِيْ القِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلُمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِيْ السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِيْ الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَاَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (سِنًّا ) وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِيْ سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدُ فِيْ بَيْتِهِ عَلى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Dari Abu Mas’ûd al-Anshâri, dia berkata: Rasûlullâh ﷺ bersabda: “Yang (paling berhak) menjadi imam pada satu kaum adalah yang paling banyak membaca (menghafal) terhadap al-Qur’ân. Jika mereka sama dalam bacaan (hafalan), maka yang paling berilmu terhadap Sunnah (Hadits). Jika mereka sama di dalam Sunnah, maka yang paling dahulu berhijrah. Jika mereka sama di dalam hijrah, maka yang palingdahulu masuk Islam (di dalam riwayat lain: yang paling tua umurnya). Seorang laki-laki janganlah menjadi imam di dalam wilayah kekuasaan laki-laki lain, dan janganlah dia duduk di atas permadani/tempat duduk khusus orang lain di dalam rumahnya, kecuali dengan idzinnya”. (HR. Muslim, no: 673; Abû Dâwud, no: 584; Ibnu Mâjah, no: 980; an-Nasâi, no: 780)

Inilah urutan orang yang berhak menjadi imam shalat.

  • Pertama, orang yang paling banyak hafalan al-Qur’ân;
  • kedua, orang yang paling berilmu terhadap Sunnah (Hadits; agama);
  • ketiga, orang yang paling dahulu berhijrah;
  • keempat, orang yang paling dahulu masuk Islam, atau yang paling tua umurnya.

Namun didahulukan orang yang paling banyak bacaan (hafalan) terhadap al-Qur’ânnya dengan syarat dia memahami perkara-perkara yang harus diketahui dalam urusan shalat. Jika dia tidak memahami hal itu, maka dia tidak diajukan sebagai imam, menurut kesepakatan Ulama’. 1

Urut-urutan imam di atas juga berlaku jika tidak ada imam tetap. Jika ada, maka imam tetap itu yang lebih berhak menjadi imam, berdasarkan sabda Nabi ﷺ di atas ‘Seorang laki-laki janganlah menjadi imam pada laki-laki lain di dalam kekuasaannya.’

Adapun anggapan, anak yang lahir diluar nikah tidak berhak menjadi imam shalat selama ada orang lain yang mampu menjadi imam, maka –sepengetahuan kami wallahu a’lam- anggapan ini tidak ada dalilnya. Setelah menjelaskan tentang kriteria yang berhak menjadi imam shalat sebagaimana keterangan hadits di atas, Syaikh ‘Adil bin Yusuf al-’Azzâz berkata: “Adapun keterangan yang terdapat di dalam sebagian kitab fikih, berupa kriteria-kriteria lain, seperti perkataan mereka: (orang yang paling berhak menjadi imam adalah) orang yang paling mulia, atau orang yang paling tampan, atau orang yang paling takwa, atau semacam itu, maka hal itu tidak ada dalilnya”.2

Footnote:

  1. 1 Lihat Fathul Bâri 2/171
  2. 2 Lihat Tamâmul Minnah, 1/292, karya beliau, Muassasah Qurthubah.

Disalin dari Sumber Artikel; Majalah As-Sunnah EDISI 01/THN. XIII/RABIUL TSANI 1430H/APRIL 2009M

Penulis; Rachmat.M.Flimban

08 November, 2021

Hukum Menyebar Berita Hoax dalam Islam

Hukum Menyebar Berita Hoax dalam Islam

Pada masa ini, ketika arus informasi demikian mudahnya, seringkali tanpa berfikir panjang kita langsung menyebarkan (men share) semua informasi dan informasi yang kita terima yang berhubungan dengan sikap fanatik yang dianjurkan oleh agama islam, tanpa terlebih dahulu meneliti kebenarannya.

Kita dengan sangat mudah men share informasi, entah dengan menggunakan media sosial semacam facebook, atau aplikasi whatsapp, atau media yang lainnya. Akibatnya, muncullah berbagai macam kerusakan, seperti kekacauan, fitnah dalam islam, provokasi, ketakutan, atau kebingungan di tengah tengah masyarakat akibat penyebaran informasi semacam ini.

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan tentang balasan bagi pendusta dalam islam, “Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar.” (HR. Muslim no.7) Janganlah kita tergesa gesa menyebarkan informasi tersebut, karena sikap seperti ini hanyalah berasal dari setan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mencari ketenangan dalam islam, “Ketenangan datangnya dari Allah, sedangkan tergesa gesa datangnya dari setan.” (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra 10/104 dan Abu Ya’la dalam Musnad nya 3/1054)

Pengertian Hoax

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sehubungan dengan media sosial menurut islam, ‘hoaks’ adalah ‘informasi hoax.’ Dalam Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kehoaxan yang dibuat dengan tujuan jahat’. Sayangnya, banyak yang sebenarnya mendefinisikan ‘hoax’ sebagai ‘informasi yang tidak saya sukai’.

Dalam kehidupan sehari hari, kita sering mendengar desas desus yang tidak jelas asal usulnya. Kadang dari suatu peristiwa kecil, tetapi dalam pemberitaannya, peristiwa itu begitu besar atau sebaliknya. Terkadang juga berita itu menyangkut kehormatan seorang muslim. Bahkan tidak jarang, sebuah rumah tangga menjadi retak, hanya karena sebuah berita yang belum tentu benar.

Bagaimanakah sikap kita terhadap berita yang bersumber dari orang yang belum kita ketahui kejujurannya? ‘Hoax’ atau ‘fake news’ bukan sesuatu yang baru, dan sudah banyak beredar sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada tahun 1439. Sebelum zaman internet, ‘hoax’ bahkan lebih berbahaya dari sekarang karena sulit untuk diverifikasi. Apa itu hoax dan bagaimana Hukum Menyebar Berita Hoax dalam Islam? Simak uraiannya berikut.

Hoax dalam Kehidupan Sehari Hari

Salah satu penyebabperpecahan umat yang sudah sangat mengkhawatirkan hari ini adalah menerimaberita dari orang lain tanpa menyaringnya dengan kritis. Menurut SyeikhAbdurrahman as Sa’di, sebagai makhluk yang diberi akal, kita harus hati hatidalam menerima sebuah isi berita. Harus melakukan proses seleksi, menyaring,dan jangan sembrono dengan menerimanya begitu saja.

Dalam literatur literatur ushul fiqh disebutkan dengan begitujelas definisi sebuah berita; sesuatu yang mungkin benar sekaligus mungkinsalah. Bahkan dalam diskursushadis, ada sebuah ilmu khusus yang membahas tentang para informan hadis (jarh wa ta’dil). Sebuah upayamemverifikasi kesahihan periwayatan melalui jalur para informannya. Lalubagaimana dengan berita yang lalu lalang di media sosial?

Apakah semua yang beredar di Facebook, Twitter, atau Berita online, bisa kita pastikan kebenarannya dan kita bagikan tanpa proses verifikasi kebenaran isi beritanya? Mari muhasabah atau introspeksi diri kita agar tidak terjebak dan terjerembab dalam kubangan para pembual dan pemfitnah. Salah satu jalan menghindari hoax dengan memverifikasi berita.

Periksalah Kebenaransebuah Informasi dengan Cermat

Allah Ta’ala punmemerintahkan kepada kita untuk memeriksa suatu informasi terlebih dahulukarena belum tentu semua informasi itu benar dan valid. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang orang yang beriman, jikadatang kepadamu orang fasik membawa suatu informasi, maka periksalah denganteliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpamengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”(QS. Al Hujuraat [49]: 6)

Allah Ta’ala memerintahkankita untuk memeriksa suatu informasi dengan teliti, yaitu mencari bukti buktikebenaran informasi tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan menelusuri sumber informasi,atau bertanya kepada orang yang lebih mengetahui hal itu.

Oleh karena itu, sungguh saat ini kita sangat perlu memperhatikan ayat ini. Suatu zaman di mana kita mudah untuk men share suatu link informasi, entah informasi dari status facebook teman, entah informasi online, dan sejenisnya, lebih lebih jika informasi tersebut berkaitan dengan kehormatan saudara muslim atau informasi yang menyangkut kepentingan masyarakat secara luas. Betapa sering kita jumpai,

suatu informasi yangdengan cepat menjadi viral di media sosial, di share oleh ribuan netizen,namun belakangan diketahui bahwa informasi tersebut tidak benar.Sayangnya, klarifikasi atas informasi yang salah tersebut justru sepi dari peminformasian.

Hukuman bagi yangSembarangan Menyebar Informasi atau Berita Hoax

Bagi kita yang suka asaldan tergesa gesa dalam menyebarkan informasi, maka hukuman di akhirat kelaktelah menanti kita. Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakanmimpi beliau,

“Tadi malam aku bermimpi melihat ada dua orang yang mendatangiku, lalu mereka memegang tanganku, kemudian mengajakku keluar ke tanah lapang. Kemudian kami melewati dua orang, yang satu berdiri di dekat kepala temannya dengan membawa gancu dari besi.
Gancu itu dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian ditarik hingga robek pipinya sampai ke tengkuk. Dia tarik kembali, lalu dia masukkan lagi ke dalam mulut dan dia tarik hingga robek pipi sisi satunya. Kemudian bekas pipi robek tadi kembali pulih dan dirobek lagi, dan begitu seterusnya.”
Di akhir hadis,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat penjelasan dari malaikat, apa maksud kejadian yangbeliau lihat, “Orang pertama yangkamu lihat, dia adalah seorang pendusta. Dia membuat kedustaan dan dia sebarkan keseluruh penjuru dunia. Dia dihukum seperti itu sampai hari kiamat,kemudian Allah memperlakukan orang tersebut sesuai yang Dia kehendaki.” (HR. Ahmad no. 20165) [2]

Apabila kita sudahberusaha meneliti, namun kita belum bisa memastikan kebenarannya, maka diamtentu lebih selamat. Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapayang diam, dia selamat.” (HR.Tirmidzi no. 2501) [3]

Bertanyalah, AdakahManfaat Menyebarkan suatu Informasi Tertentu?

Lalu, apabila kita sudahmemastikan keberannya, apakah informasi tersebut akan kita sebarkan begitusaja? Jawabannya tentu saja tidak. Akan tetapi, kita lihat terlebih dahuluapakah ada manfaat dari menyebarkan informasi (yang terbukti benar) tersebut?
Jika tidak ada manfaatnyaatau bahkan justru berpotensi menimbulkan salah paham, keresahan atau kekacauandi tengah tengah masyarakat dan hal hal yang tidak diinginkan lainnya, makahendaknya tidak langsung disebarkan (diam) atau minimal menunggu waktu dankondisi dan tepat. Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapaberiman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.”(HR. Bukhari no. 6018 dan Muslimno. 74)

Larangan MenyebarkanBerita Hoax dalam Islam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernahmelarang Mu’adz bin Jabal radhiyallahu‘anhu untuk menyebarkan ilmu yang dia peroleh karena khawatir akanmenimbulkan salah paham di tengah tengah kaum muslimin. Diriwayatkan dariMu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Wahai Mu’adz, apakah kamu tahu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba dan apa hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul nya yang lebih mengetahui.’ Beliau pun bersabda,
'Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba Nya ialah supaya mereka beribadah kepada Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada Nya. Adapun hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah adalah Allah tidak akan mengazab mereka yang tidak berbuat syirik kepada Nya.;

Lalu aku berkata, ’Wahai Rasulullah, bagaimana kalau aku mengabarkan informasi gembira ini kepada banyak orang?’ Rasulullah menjawab, ’Jangan, nanti mereka bisa bersandar.’” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 154)

Mari kita perhatikan baik baikhadits ini. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam menyampaikan suatu informasi (ilmu) kepada Mu’adz binJabal, namun beliau melarang Mu’adz bin Jabal untuk menyampaikannya kepadasahabat lain, karena beliau shallallahu‘alaihi wa sallam khawatir kalau mereka salah paham terhadap kandunganhadits ini.
Artinya, ada suatu kondisisehingga kita hanya menyampaikan suatu informasi kepada orang tertentu saja.Dengan kata lain, terkadang ada suatu maslahat (kebaikan) ketika menyembunyikanatau tidak menyampaikan suatu ilmu pada waktu dan kondisi tertentu, atau tidakmenyampaikan suatu ilmu kepada orang tertentu.
Mu’adz bin Jabal akhirnyamenyampaikan hadits ini ketika beliau hendak wafat karena beliau khawatirketika beliau wafat, namun masih ada hadits yang belum beliau sampaikan kepadamanusia. Mu’adz bin Jabal juga menyampaikan kekhawatiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketikaitu, agar manusia tidak salah paham dengan hadits tersebut.
Semoga tulisan singkat inimenjadi panduan kita di zaman penuh fitnah dan kerusakan seperti sekarang ini,yang salah satunya disebabkan oleh penyebaran informasi yang tidak jelas asal usuldan kebenarannya. Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.
Di Salin dari; Sumber Artikel; dalamislam.com

Penulis Salinan; Rachmat. M,a, Flimban


warning

Jerat Hukum untuk Penyebar Hoax

Bagi penyebar hoax, dapat diancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE (UU ITE) yang menyatakan “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik yang Dapat diancam ...

Indonesiabaik.id - pertumbuhan pengguna smartphone dan media sosial yang tidak menggunakan literasi digital menyebabkan berita palsu alias hoax merajalela . Tidak hanya melalui situs online, hoax juga beredar di pesan chatting. Jumlah hoax yang semakin meningkat dan tak terbendung membuat pemerintah akhirnya berinisiatif melakukan sejumlah cara bahkan penyebar hoax bisa dijerat hukum.

Bagi penyebar hoax, dapat diancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyatakan “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik yang Dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar .

Dalam menekan angka terjadinya hoax, sosialisasi terus digencarkan pemerintah untuk meminimalisir penyebaran konten hoax. Masyarakat juga telah diinformasikan terkait hukuman bagi mereka yang berujar kebencian/SARA melalui UU ITE.

Untuk melaporkan hoax, pengguna bisa melakukan screen capture disertai url link, kemudian mengirimkan data ke aduankonten@mail.kominfo.go.id. Kiriman aduan segera setelah melalui verifikasi. Kerahasiaan pelapor dijamin dan aduan konten dapat dilihat di laman web trustpositif.kominfo.go.id.

01 November, 2021

Hukum Menipiskan Alis, Memanjangkan Kuku & Memakai Kutek

Kate Goriy Wanita, Akhlaq dan Nasehat;

Soal-Jawab Agama Islam

Hukum Menipiskan Alis, Memanjangkan Kuku & Memakai Kutek

Soal
  1. 1.Apakah hukumnya menipiskan rambut yang keluar dari alis?
  2. 2. Apakah hukumnya memanjangkan kuku dan memakai kutek, perlu diketahui bahwa saya berwudhu sebelum memakainya dan saya biarkan hingga 24 jam lalu saya buang?
  3. 3, Bolehkah wanita berhijab tanpa menutup wajahnya apabila safar ke luar negeri?
Jawab:
Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:

Jawaban 1:

Tidak boleh bagi wanita mengambil (mencukur) rambut kedua alis dan tidak boleh pula menipiskannya, berdasarkan hadits yang berbunyi:

أن رسول الله لَعَنَ النَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ

Bahwa Rasulullah mengutuk wanita yang menipiskan alis dan yang meminta ditipiskan alisnya.[1]

Para ulama menjelaskan bahwa mengambil rambut alis termasuk namsh (yang disebutkan dalam hadits).

Jawaban 2:

Memanjangkan kuku termasuk perbuatan menyalahi sunnah. Disebutkan dalam hadits:

قال رسول الله: الفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيْمُ اْلأَظَافِرِ وَنَتْفُ اْلإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

Rasulullah bersabda: ‘Fitrah ada lima – atau lima perkara termasuk fitrah: khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan memangkas kumis.”[2]

Tidak boleh dibiarkan lebih dari empat puluh (40) hari, berdasarkan hadits dari Anas Radiallahu’anhu, ia berkata: ‘Diberikan waktu untuk kami dalam memangkas kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur rambut kemaluan agar kami tidak membiarkan lebih dari empat puluh (40) malam.‘[3]

Dan karena memanjangkannya termasuk menyerupai binatang dan sebagian orang kafir.

Adapun kutek, maka meninggalkannya lebih utama dan wajib menghilangkannya saat berwudhu karena ia menghalangi sampainya air ke kuku.

Jawaban 3:

Wanita harus berhijab dari bukan mahram di dalam dan di luar negeri, berdasarkan firman Allah Subhanahuwata’alla:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعاً فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka,… (QS. al-Ahzaab/33: 53)

Ayat yang mulia ini mencakup wajah dan yang lainnya, dan wajah adalah ciri wanita dan perhiasannya yang paling besar. Dan firman Allah Subhanahuwata’alla:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Ahzab/33: 59)

Dan firman Allah Subhanahuwata’alla:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ

…dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,… (QS. An-Nuur/24: 31)

Ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya hijab di dalam dan di luar negeri, dari orang muslim dan kafir. Tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’alla dan hari akhir meremehkan persoalan ini, karena dalam hal itu termasuk durhaka kepada Allah Subhanahuwata’alla dan rasul-Nya, dan hal itu membawa kepada fitnah kepadanya di dalam dan di luar negeri.[]

Syaikh Abdul Aziz bin Baz – Fatwa-Fatwa Tentang Wanita – hal. 166-167.

Disalin dari IslamHouse.Com dengan penerjemah Muhammad Iqbal A. Gazali.

[1] HR. al-Bukhari 4886 dan Muslim 2125
[2] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[3] HR. Muslim 258.
Download:

Selengkapnya;

FATWA ULAMA & USTADZ AHLUS SUNNAH
Hukum Menipiskan Alis, Memanjangkan Kuku dan Memakai Kutek
Soal:
  1. 1. Apakah hukumnya menipiskan rambut yang keluar dari alis?
  2. 2. Apakah hukumnya memanjangkan kuku dan memakai kutek, perlu diketahui bahwa saya berwudhu sebelum memakainya dan saya biarkan hingga 24 jam lalu saya buang?
  3. 3. Bolehkah wanita berhijab tanpa menutup wajahnya apabila safar ke luar negeri?

Jawab:

Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:
FATWA ULAMA & USTADZ AHLUS SUNNAH

www.soaldanjawab.wordpress.com

Jawaban 1:

Tidak boleh bagi wanita mengambil (mencukur) rambut kedua alis dan tidak boleh pula menipiskannya, berdasarkan hadits yang berbunyi:

أن رسول الله لَعَنَ النَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ

Bahwa Rasulullah mengutuk wanita yang menipiskan alis dan yang meminta ditipiskan alisnya.

Para ulama menjelaskan bahwa mengambil rambut alis termasuk namsh (yang disebutkan dalam hadits)

Jawaban 2:

Memanjangkan kuku termasuk perbuatan menyalahi sunnah. Disebutkan dalam hadits:


1 HR. al-Bukhari 4886 dan Muslim 2125
قال رسول الله: الفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيْمُ اْلأَظَافِرِ وَنَتْفُ اْلإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
Rasulullah bersabda: 'Fitrah ada lima – atau lima perkara termasuk fitrah: khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan memangkas kumis."
Tidak boleh dibiarkan lebih dari empat puluh (40) hari, berdasarkan hadits dari Anas Radiallahu’anhu, ia berkata: 'Diberikan waktu untuk kami dalam memangkas kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur rambut kemaluan agar kami tidak membiarkan lebih dari empat puluh (40) malam.'

2. HR. Al-Bukhari dan Muslim.
Tidak boleh dibiarkan lebih dari empat puluh (40) hari, berdasarkan hadits dari Anas Radiallahu’anhu, ia berkata:
'Diberikan waktu untuk kami dalam memangkas kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur rambut kemaluan agar kami tidak membiarkan lebih dari empat puluh (40) malam.'
Dan karena memanjangkannya termasuk menyerupai binatang dan sebagian orang kafir.
Adapun kutek, maka meninggalkannya lebih utama dan wajib menghilangkannya saat berwudhu karena ia menghalangi sampainya air ke kuku
Jawaban 3:
Wanita harus berhijab dari bukan mahram di dalam dan di luar negeri, berdasarkan firman Allah Subhanahuwata’alla:

3 HR. Muslim 258.

FATWA ULAMA & USTADZ AHLUS SUNNAH

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعاً فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka,... (QS. al-Ahzaab/33: 53)
Ayat yang mulia ini mencakup wajah dan yang lainnya, dan wajah adalah ciri wanita dan perhiasannya yang paling besar. Dan firman Allah Subhanahuwata’alla:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Ahzab/33: 59)

Dan firman Allah Subhanahuwata’alla:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ

...dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,... (QS. An-Nuur/24: 31)

Ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya hijab di dalam dan di luar negeri, dari orang muslim dan kafir. Tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’alla dan hari akhir meremehkan persoalan ini, karena dalam hal itu termasuk durhaka kepada Allah Subhanahuwata’alla dan rasul-Nya, dan hal itu membawa kepada fitnah kepadanya di dalam dan di luar negeri.[]

Syaikh Abdul Aziz bin Baz – Fatwa-Fatwa Tentang Wanita – hal. 166-167.

Sumber Artikel; IslamHouse.Com dengan penerjemah Muhammad Iqbal A. Gazali.
Disalin dari Sumber Artikel; soaldanJawab.wordpress.com
Penulis Salinan; Rachmat.M.Flimban; Groups Wong Jeddah KSA ISLAMOLOGI
Semoga Bermanfaat
Isikan Data di Sini
Wanita, Hukum, Akhlaq
FATWA ULAMA & USTADZ AHLUS SUNNAH

FOTO

Hukum Menipiskan Alis, Memanjangkan Kuku dan Memakai Kutek
Soal:
  1. 1. Apakah hukumnya menipiskan rambut yang keluar dari alis?
  2. 2. Apakah hukumnya memanjangkan kuku dan memakai kutek, perlu diketahui bahwa saya berwudhu sebelum memakainya dan saya biarkan hingga 24 jam lalu saya buang?
  3. 3. Bolehkah wanita berhijab tanpa menutup wajahnya apabila safar ke luar negeri?

Jawab:

Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:

Jawaban 1:
Tidak boleh bagi wanita mengambil (mencukur) rambut kedua alis dan tidak boleh pula menipiskannya, berdasarkan hadits yang berbunyi:

أن رسول الله لَعَنَ النَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ

Bahwa Rasulullah mengutuk wanita yang menipiskan alis dan yang meminta ditipiskan alisnya.
Para ulama menjelaskan bahwa mengambil rambut alis termasuk namsh (yang disebutkan dalam hadits).
Jawaban 2:
Memanjangkan kuku termasuk perbuatan menyalahi sunnah. Disebutkan dalam hadits:

1. HR. al-Bukhari 4886 dan Muslim 2125

قال رسول الله: الفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيْمُ اْلأَظَافِرِ وَنَتْفُ اْلإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

Rasulullah bersabda: 'Fitrah ada lima – atau lima perkara termasuk fitrah: khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan memangkas kumis."

Tidak boleh dibiarkan lebih dari empat puluh (40) hari, berdasarkan hadits dari Anas Radiallahu’anhu, ia berkata: 'Diberikan waktu untuk kami dalam memangkas kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur rambut kemaluan agar kami tidak membiarkan lebih dari empat puluh (40) malam.' 3

HR. Al-Bukhari dan Muslim.

Dan karena memanjangkannya termasuk menyerupai binatang dan sebagian orang kafir.

Adapun kutek, maka meninggalkannya lebih utama dan wajib menghilangkannya saat berwudhu karena ia menghalangi sampainya air ke kuku.

Jawaban 3:

Wanita harus berhijab dari bukan mahram di dalam dan di luar negeri, berdasarkan firman Allah Subhanahuwata’alla:


HR. Muslim 258.

FATWA ULAMA & USTADZ AHLUS SUNNAH

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعاً فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka,... (QS. al-Ahzaab/33: 53)

Ayat yang mulia ini mencakup wajah dan yang lainnya, dan wajah adalah ciri wanita dan perhiasannya yang paling besar. Dan firman Allah Subhanahuwata’alla:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Ahzab/33: 59)

Dan firman Allah Subhanahuwata’alla:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ

...dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,... (QS. An-Nuur/24: 31)

Ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya hijab di dalam dan di luar negeri, dari orang muslim dan kafir. Tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’alla dan hari akhir meremehkan persoalan ini, karena dalam hal itu termasuk durhaka kepada Allah Subhanahuwata’alla dan rasul-Nya, dan hal itu membawa kepada fitnah kepadanya di dalam dan di luar negeri.[]

Syaikh Abdul Aziz bin Baz – Fatwa-Fatwa Tentang Wanita – hal. 166-167.

Disalin dari IslamHouse.Com dengan penerjemah Muhammad Iqbal A. Gazali.

Kunjungi Blog Kami:

  1. 1. Soal dan Jawab
  2. 2. Download eBook Islam
  3. 3. Doa dan Dzikir
FATWA ULAMA & USTADZ AHLUS SUNNAH
Disalin dari Sumber Artikel; soaldanjawab
Penulis Salinan; Rachmat.M.Ma,Flimban

22 Oktober, 2021

Fatwa Ulama: Hukum Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah

BAHASAN UTAMA FATWA ULAMA


Fatwa Ulama: Hukum Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin,
Soal:
Apa hukum mengucapkan tahniah (ucapan selamat) tahun baru Hijriyah? Dan bagaimana sikap yang benar jika ada yang mengucapkannya kepada kita?

Jawab:

Kalau ada orang yang mengucapkan tahniah kepadamu, maka balaslah. Inilah sikap yang benar dalam masalah ini. Jika seseorang berkata kepada anda: “selamat tahun baru Hijriyah..“. Maka katakan padanya (semisal ini) : “semoga Allah memberikanmu keselamatan dengan kebaikan-kebaikan dari-Nya, dan semoga Allah menjadikan tahun ini tahun yang baik dan berkah“.

Namun jangan anda memulai ucapan selamat tahun baru kepada orang lain. Karena saya tidak mengetahui adanya riwayat bahwa para salaf saling mengucapkan selamat tahun baru Hijriyah. Bahkan ketahuilah, bahwa para salaf tidak menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pertama kecuali pada kekhalifahan Umar bin Khattab radhiallahu’anhu.

Sumber: sahab.net

Disalin dari Sumber; Muslim.or.id
Penulis Salinan; Rachmat.M.Flimban

18 Oktober, 2021

AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR MENURUT HUKUM ISLAM

AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR MENURUT HUKUM ISLAM

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan kekhususan dan keistimewaan umat Islam yang akan mempengaruhi kemulian umat Islam. Sehingga Allah kedepankan penyebutannya dari iman dalam firman-Nya,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik“. [Ali Imron :110]

Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan hal ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“.[At-Taubah:71]

Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, umat Islam adalah umat terbaik bagi segenap umat manusia. Umat yang paling memberi manfaat dan baik kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan kebaikan dan kemanfaatan dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Mereka tegakkan hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah yang sempurna bagi manusia. Umat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada semua perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang semua kemungkaran. Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan jihad mereka untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang yang jahat dan dzalim berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini digambarkan dalam ucapan Nabi Musa Alaihissallam.

يَاقَوْمِ ادْخُلُوا اْلأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ قَالُوا يَامُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَن نَّدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِن يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ قَالَ رَجُلاَنِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذاَ دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَن نَّدْخُلَهَآ أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلآَ إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ

Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata,”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya”. Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”. [Al-Maidah : 21-24]

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإِ مِن بَنِى إِسْرَاءِيلَ مِن بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلاَّ تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَالَنَآ أَلاَّ نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِن دِيَارِنَا وَأَبْنَآئِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلاَّ قَلِيلاً مِّنْهُمْ وَاللهُ عَلِيمُُ بِالظَّالِمِينَ

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi Musa wafat) ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab,”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab,”Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim“. [Al-Baqarah:246]

Mereka berperang lantaran diusir dari tanah air beserta anak-anak mereka. Sudah demikian ini, mereka pun masih melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan begi mereka harta rampasan perang. Demikan juga tidak boleh mengambil budak-budak tawanan perang. [1]

Demikianlah anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat Islam. Dia menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai salah satu tugas penting Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan beliau diutus untuk itu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 الذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الأُمِّي الذِيْ يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِيْ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوْا النُّوْرَ الَّذِيْ أَنْزَلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung“. [Al- A’raaf : 157).

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan orang-orang yang selalu mewarisi tugas utama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, bahkan memerintahkan umat ini untuk menegakkannya, dalam firman-Nya.

 وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [Al-Imron:104]

Baca Juga Apa Yang Harus Diperbuat Oleh Seorang Pemudi Yang Hidup Di Tengah-Tengah Suasana Penuh Kemungkaran

https://almanhaj.or.id/226-apa-yang-harus-diperbuat-oleh-seorang-pemudi-yang-hidup-di-tengah-tengah-suasana-penuh-kemungkaran.html

Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman atau tempat. Meliputi seluruh umat dan bangsa dan terus bergerak dengan jihad dan penyampaian ke seluruh belahan dunia. Tugas ini telah diemban umat Islam sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.

HUKUM AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR [2]

Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ para Ulama.

Dalil Al Qur’an

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“.[Al-Imran:104].

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,”Maksud dari ayat ini, hendaklah ada sebagian umat ini yang menegakkan perkata ini”.[3]

Dan firman-Nya.

 كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah“. [Al-Imran :110].

Umar bin Khathab berkata ketika memahami ayat ini,”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya”.[4]

Dalil Sunnah

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Barang siapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman“. [HR Muslim].

Sedangkan Ijma’ kaum muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya:

  1. Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata, “Seluruh umat telah bersepakat mengenai kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, tidak ada perselisihan diantara mereka sedikitpun”.[5]
  2. Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata,”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar melalui beberapa ayat dalam Al Qur’an, lalu dijelaskan Rasulullah n dalam hadits yang mutawatir. Dan para salaf serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas kewajibannya”.[6]
  3. An-Nawawi berkata,”telah banyak dalil-dalil Al Qur’an dan Sunnah serta Ijma yang menunjukkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar” [7]
  4. Asy-Syaukaniy berkata,”Amar ma’ruf nahi mungkar termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari’at terbesar dalam syariat. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya”.[8]

Jelaslah kewajiban umat ini untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.

DERAJAT KEWAJIBAN AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR [9]

Amar ma’ruf nahi mungkar sebagai satu kewajiban atas umat Islam, bagaimanakah derajat kewajibannya? Apakah fardhu ‘ain ataukah fardhu kifayah? Para ulama berselisih tentang hal ini.

Pendapat pertama memandang kewajiban tersebut adalah fardhu ‘Ain. Ini merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibnu Katsir, Az Zujaaj, Ibnu Hazm .Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

 “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [Ali Imran:104]

Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk penjelas dan bukan untuk menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian semua umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Demikian juga akhir ayat yaitu: وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ Menegaskan bahwa keberuntungan khusus bagi mereka yang melakukan amalan tersebut.

Sedangkan mencapai keberuntungan tersebut hukumnya fardhu ‘ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat tersebut hukumnya wajib ‘ain juga. Karena dalam kaedah disebutkan:

 مَا لاَ يَتِمُّّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Satu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik“. [Ali Imran :110]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan syarat bergabung dengan umat Islam yang terbaik, yaitu dengan amar ma’ruf nahi mungkar dan iman. Padahal bergabung kepada umat ini, hukumnya fardu ‘ain. Sebagaimana firman-Nya:

 وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” [Fushilat :33]

Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut menjadi fardhu ‘ain. Sebagaimana Umar bin Al Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah bagi orang yang bergabung ke dalam barisan umat Islam. Beliau berkata setelah membaca surat Ali Imran:110,”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya”

Sedangkan pendapat kedua memandang amar ma’ruf nahi mungkar fardhu kifayah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Diantara mereka yang menyatakan secara tegas adalah Abu Bakr Al-Jashash [12] , Al-Mawardiy, Abu Ya’la Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al Qurthubiy [13], Ibnu Qudamah [14], An-Nawawiy [15] , Ibnu Taimiyah [16] , Asy-Syathibiy [17] dan Asy-Syaukaniy [18].

Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini: 1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [Ali Imran:104]

Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk menunjukkan sebagian. Sehingga menunjukkan hukumnya fardhu kifayah.

Imam Al Jashash menyatakan,”Ayat ini mengandung dua makna. Pertama, kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Kedua, yaitu fardu kifayah. Jika telah dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain tidak terkena kewajiban”.[19]

Ibnu Qudamah berkata,”Dalam ayat ini terdapat penjelasan hukum amar ma’ruf nahi mungkar yaitu fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain”.[20]

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Baca Juga Mengajak Kepada Kebaikan Harus Dilaksanakan Walaupun Yang Diajaknya Marah

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya“. [At-Taubah : 122]

Hukum tafaquh fiddin (memperdalam ilmu agama) adalah fardhu kifayah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan sekelompok kaum mukminin dan tidak semuanya untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu orang yang belajar dan menuntut ilmu tersebut yang bertanggung jawab memberi peringatan, bukan seluruh kaum muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu kifayah.

Syeikh Abdurrahman As Sa’diy menyatakan,”Sepatutnya kaum muslimin mempersiapkan orang yang menegakkan setiap kemaslahatan umum mereka. Orang yang meluangkan seluruh waktunya dan bersungguh-sungguh serta tidak bercabang, untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfatan mereka. Hendaklah arah dan tujuan mereka semuanya satu, yaitu menegakkan kemaslahatan agama dan dunianya”[21]

3. Tidak semua orang dapat menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena orang yang menegakkannya harus memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti mengetahui hukum-hukum syari’at, tingkatan amar makruf nahi mungkar, cara menegakkannya, kemampuan melaksanakannya. Demikian juga dikhawatirkan bagi orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar bila tanpa ilmu akan berbuat salah. Mereka memerintahkan kemungkaran dan mencegah kema’rufan atau berbuat keras pada saat harus lembut dan sebaliknya.

4. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

الذِّيْنَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِيْ اْلأَرْضِ أَقَامُوْا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُوْرِ

“(yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan“. [QS. 22:41]

Imam Al Qurthubiy berkata,”Tidak semua orang diteguhkan kedudukannya dimuka bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan secara kifayah kepada mereka yang diberi kemampuan untuknya”[22]

Oleh karena itu Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,”Demikian kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini tidak diwajibkan kepada setiap orang, akan tetapi merupakan fardhu kifayah” [23]

Akan tetapi hukum ini bukan berarti menunjukkan bolehnya seseorang untuk tidak berdakwah, atau beramar makruf nahi mungkar. Karena terlaksananya fardhu kifayah ini dengan terwujudnya pelaksanaan kewajiban tersebut. Sehingga apabila kewajiban tersebut belum terwujud pelaksanaannya oleh sebagian orang, maka seluruh kaum muslimin terbebani kewajiban tersebut.

Pelaku amar makruf nahi mungkar adalah orang yang menunaikan dan melaksanakan fardhu kifayah. Mereka memiliki keistimewaan lebih dari orang yang melaksanakan fardhu ‘ain. Karena pelaku fardhu ‘ain hanya menghilangkan dosa dari dirinya sendiri, sedangkan pelaku fardhu kifayah menghilangkan dosa dari dirinya dan kaum muslimin seluruhnya. Demikian juga fardhu ‘ain jika ditinggalkan, maka hanya dia saja yang berdosa, sedangkan fardhu kifayah jika ditinggalkan akan berdosa seluruhnya.

Pendapat ini Insya Allah pendapat yang rajih. Wallahu a’lam.

Amar makruf nahi mungkar dapat menjadi fardhu ‘ain, menurut kedua pendapat diatas, apabila :

Pertama : Ditugaskan oleh pemerintah.

Kedua : Hanya dia yang mengetahui kema’rufan dan kemungkaran yang terjadi. An Nawawiy berkata,

”Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu ‘ain, jika dia berada ditempat yang tidak mengetahuinya kecuali dia”.[25]

Ketiga : Kemampuan amar makruf nahi mungkar hanya dimiliki orang tertentu. Jika kemampuan menegakkan amar makruf nahi mungkar terbatas pada sejumlah orang tertentu saja, maka amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain bagi mereka.

An Nawawi berkata,”Terkadang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain, jika berada di tempat yang tidak mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau anak atau budaknya berbuat kemungkaran atau tidak berbuat kema’rufan”.[26]

Keempat : Perubahan keadaan dan kondisi.

Syeikh Abdul Aziz bin Baaz memandang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain dengan sebab perubahan kondisi dan keadaan, ketika beliau berkata, “Ketika sedikitnya para da’i. Banyaknya kemungkaran dan kebodohan yang merata, seperti keadaan kita sekarang ini, maka dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya”.[27]

Demikianlah amar makruf nahi mungkar dalam tinjauan hukum Islam, mudah-mudahan hal ini mendorong kita untuk melaksanakan dan menegakkannya dalam kehidupan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VI/1423H/2002M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Footnote

[1]. Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Mungkar, hal 34. Kitab ini telah diterjemahkan oleh al-Akh Abu Ihsan dengan judul yang sama, diterbitkan Pustaka at-Tibyan, Solo.
[2]. Disarikan dari buku Hakikat Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil Mungkar, karya Dr. Hamd bin Nashir Al Amaar, hal. 39-40 dan Makalah Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi Anil Mungkar Bainal Ifraath
[3]. Lihat tafsir Al Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405
[4]. Lihat Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/453
[5]. Ibnu Hazm, Al-Fashl Fil Milal Wan Nihal, 5/19.
[6]. Al-Jashash, Ahkamul Qur’an , 2/486
[7]. An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/22.
[8]. Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/450.
[9]. Disarikan dari buku Hakikat Al-Amr Bil Ma’ruf wan-Nahi ‘Anil Mungkar, karya Dr. Hamd bin Nashir Al-Amaar, hal.40-51dengan perubahan.
[10]. Lihat tafsir Al-Quran Al-Karim karya Ibnu Katsir 1/390
[11]. Ibnu Hazm, Al-Muhalla, 10/505.
[12]. Al Jashosh, Ahkamul Qur’an, 2/29
[13]. Al Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, 4/165.
[14]. Ibnu Qudamah, Mukhtashor Minhajul Qashidiin, hal.156.
[15]. An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/23.
[16]. Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil Mungkar , hal.37.
[17]. Asy Syathibiy, Al-Muwafaqaat Fi Ushulisy Syari’at, 1/126
[18]. Asy Syaukaiy, Fathul Qadir, 1/450.
[19]. Al Jashash, Ahkamul Qur’an, 2/29.
[20]. Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidiin, hal 156.
[21]. As Sa’diy, Taisir Karimir Rahman, 3/315, lihat Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, hal. 43.
[22]. Al Qurthubi, Tafsir Qurthubi, 4/165.
[23]. Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf wan Nahi ‘Anil Mungkar, hal.37.
[24]. Al Mawardi, Al Ahkam Sulthaniyah, hal.391, dinukil dari Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar hal.50.
[25]. An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 2/23.
[26]. ibid
[27]. Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, Ad Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hal. 16.

Disalin dari Sumber Artikel; Almanhaj.or.id
Penulis; Rachmat.M.Flimban
Referensi: almanhaj.or.i