AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR MENURUT HUKUM ISLAM
Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Amar ma’ruf
nahi mungkar merupakan kekhususan dan keistimewaan umat Islam yang akan
mempengaruhi kemulian umat Islam. Sehingga Allah kedepankan penyebutannya dari
iman dalam firman-Nya,
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا
لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik“. [Ali Imron :110]
Demikian pula, Allah membedakan kaum
mukminin dari kaum munafikin dengan hal ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ
اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki
dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana“.[At-Taubah:71]
Ketika membawakan kedua ayat diatas,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjelaskan, umat Islam adalah umat terbaik bagi segenap umat manusia. Umat yang
paling memberi manfaat dan baik kepada manusia. Karena mereka telah
menyempurnakan seluruh urusan kebaikan dan kemanfaatan dengan amar ma’ruf nahi
mungkar. Mereka tegakkan hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan
harta mereka. Inilah anugerah yang sempurna bagi manusia. Umat lain tidak
memerintahkan setiap orang kepada semua perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan
melarang semua kemungkaran. Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian
mereka sama sekali tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil-
kebanyakan jihad mereka untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang
yang jahat dan dzalim berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan
kebaikan, tidak pula untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini digambarkan dalam
ucapan Nabi Musa Alaihissallam.
يَاقَوْمِ
ادْخُلُوا اْلأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَرْتَدُّوا
عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ قَالُوا يَامُوسَى إِنَّ فِيهَا
قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَن نَّدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِن
يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ قَالَ رَجُلاَنِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ
أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذاَ دَخَلْتُمُوهُ
فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَن نَّدْخُلَهَآ أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ
أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلآَ إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
Hai kaumku, masuklah ke tanah suci
(Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke
belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang
merugi. Mereka berkata,”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang
yang gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum
mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan
memasukinya”. Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada
Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan
melalui pintu gerbang (kota) itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan
menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar
orang yang beriman”. Mereka berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan
memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah
kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk
menanti di sini saja”. [Al-Maidah : 21-24]
Demikian pula firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
أَلَمْ تَرَ
إِلَى الْمَلإِ مِن بَنِى إِسْرَاءِيلَ مِن بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ
لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ
إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلاَّ تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَالَنَآ أَلاَّ
نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِن دِيَارِنَا وَأَبْنَآئِنَا
فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلاَّ قَلِيلاً مِّنْهُمْ
وَاللهُ عَلِيمُُ بِالظَّالِمِينَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan
pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi Musa wafat) ketika mereka berkata kepada
seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang
(di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab,”Mungkin sekali
jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka
menjawab,”Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya
kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”. Maka
tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa
orang saja diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim“.
[Al-Baqarah:246]
Mereka berperang lantaran diusir dari
tanah air beserta anak-anak mereka. Sudah demikian ini, mereka pun masih
melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan begi mereka harta rampasan perang.
Demikan juga tidak boleh mengambil budak-budak tawanan perang. [1]
Demikianlah anugerah Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepada umat Islam. Dia menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai salah
satu tugas penting Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan beliau
diutus untuk itu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
الذِيْنَ
يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الأُمِّي الذِيْ يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا
عِنْدَهُمْ فِيْ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ
وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ
عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي
كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ
وَاتَّبَعُوْا النُّوْرَ الَّذِيْ أَنْزَلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti
Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan
Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan
melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang
dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti
cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah
orang-orang yang beruntung“. [Al- A’raaf : 157).
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan orang-orang yang selalu mewarisi tugas utama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ini, bahkan memerintahkan umat ini untuk menegakkannya, dalam
firman-Nya.
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“.
[Al-Imron:104]
Baca Juga Apa Yang Harus Diperbuat
Oleh Seorang Pemudi Yang Hidup Di Tengah-Tengah Suasana Penuh Kemungkaran
https://almanhaj.or.id/226-apa-yang-harus-diperbuat-oleh-seorang-pemudi-yang-hidup-di-tengah-tengah-suasana-penuh-kemungkaran.html
Tugas penting ini sangat luas
jangkauannya, baik zaman atau tempat. Meliputi seluruh umat dan bangsa dan terus
bergerak dengan jihad dan penyampaian ke seluruh belahan dunia. Tugas ini telah
diemban umat Islam sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
sekarang hingga hari kiamat nanti.
HUKUM AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR [2]
Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan
kewajiban yang dibebankan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat Islam sesuai
kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ para
Ulama.
Dalil Al Qur’an
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang
beruntung“.[Al-Imran:104].
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan
ayat ini,”Maksud dari ayat ini, hendaklah ada sebagian umat ini yang menegakkan
perkata ini”.[3]
Dan firman-Nya.
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah“. [Al-Imran :110].
Umar bin Khathab berkata ketika
memahami ayat ini,”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat
tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya”.[4]
Dalil Sunnah
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barang siapa yang melihat satu
kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan
lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya
iman“. [HR Muslim].
Sedangkan Ijma’ kaum muslimin, telah
dijelaskan oleh para ulama, diantaranya:
- Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau
berkata, “Seluruh umat telah bersepakat mengenai kewajiban amar ma’ruf nahi
mungkar, tidak ada perselisihan diantara mereka sedikitpun”.[5]
- Abu Bakr al- Jashshash, beliau
berkata,”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan kewajiban amar ma’ruf
nahi mungkar melalui beberapa ayat dalam Al Qur’an, lalu dijelaskan
Rasulullah n dalam hadits yang mutawatir. Dan para salaf serta ahli fiqih
Islam telah berkonsensus atas kewajibannya”.[6]
- An-Nawawi berkata,”telah banyak
dalil-dalil Al Qur’an dan Sunnah serta Ijma yang menunjukkan kewajiban amar
ma’ruf nahi mungkar” [7]
- Asy-Syaukaniy berkata,”Amar ma’ruf
nahi mungkar termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari’at terbesar dalam
syariat. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya”.[8]
Jelaslah kewajiban umat ini untuk
beramar ma’ruf nahi mungkar.
DERAJAT KEWAJIBAN AMAR MA’RUF NAHI
MUNGKAR [9]
Amar ma’ruf nahi mungkar sebagai satu
kewajiban atas umat Islam, bagaimanakah derajat kewajibannya? Apakah fardhu ‘ain
ataukah fardhu kifayah? Para ulama berselisih tentang hal ini.
Pendapat pertama memandang kewajiban
tersebut adalah fardhu ‘Ain. Ini merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya
Ibnu Katsir, Az Zujaaj, Ibnu Hazm .Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar’i,
diantaranya:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [Ali
Imran:104]
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam
ayat مِنْكُمْ untuk penjelas dan bukan untuk menunjukkan sebagian. Sehingga
makna ayat, jadilah kalian semua umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Demikian juga akhir ayat
yaitu: وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ Menegaskan bahwa keberuntungan khusus
bagi mereka yang melakukan amalan tersebut.
Sedangkan mencapai keberuntungan
tersebut hukumnya fardhu ‘ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat tersebut
hukumnya wajib ‘ain juga. Karena dalam kaedah disebutkan:
مَا
لاَ يَتِمُّّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Satu kewajiban yang tidak sempurna
kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا
لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik“. [Ali Imran :110]
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjadikan syarat bergabung dengan umat Islam yang terbaik, yaitu dengan
amar ma’ruf nahi mungkar dan iman. Padahal bergabung kepada umat ini, hukumnya
fardu ‘ain. Sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ
أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى
مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan
berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” [Fushilat
:33]
Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut
menjadi fardhu ‘ain. Sebagaimana Umar bin Al Khathab menganggapnya sebagai
syarat Allah bagi orang yang bergabung ke dalam barisan umat Islam. Beliau
berkata setelah membaca surat Ali Imran:110,”Wahai sekalian manusia, barang
siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah
darinya”
Sedangkan pendapat kedua memandang amar
ma’ruf nahi mungkar fardhu kifayah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Diantara mereka yang menyatakan secara tegas adalah Abu Bakr Al-Jashash [12] ,
Al-Mawardiy, Abu Ya’la Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al Qurthubiy [13],
Ibnu Qudamah [14], An-Nawawiy [15] , Ibnu Taimiyah [16] , Asy-Syathibiy [17] dan
Asy-Syaukaniy [18].
Mereka berhujjah dengan dalil-dalil
berikut ini: 1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [Ali
Imran:104]
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam
ayat مِنْكُمْ untuk menunjukkan sebagian. Sehingga menunjukkan hukumnya fardhu
kifayah.
Imam Al Jashash menyatakan,”Ayat ini
mengandung dua makna. Pertama, kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Kedua, yaitu
fardu kifayah. Jika telah dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain tidak
terkena kewajiban”.[19]
Ibnu Qudamah berkata,”Dalam ayat ini
terdapat penjelasan hukum amar ma’ruf nahi mungkar yaitu fardhu kifayah, bukan
fardhu ‘ain”.[20]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَمَاكَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ
طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Baca Juga Mengajak Kepada Kebaikan Harus Dilaksanakan Walaupun Yang Diajaknya
Marah
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang
mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya“. [At-Taubah : 122]
Hukum tafaquh fiddin (memperdalam ilmu
agama) adalah fardhu kifayah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
sekelompok kaum mukminin dan tidak semuanya untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu
orang yang belajar dan menuntut ilmu tersebut yang bertanggung jawab memberi
peringatan, bukan seluruh kaum muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu
kifayah.
Syeikh Abdurrahman As Sa’diy
menyatakan,”Sepatutnya kaum muslimin mempersiapkan orang yang menegakkan setiap
kemaslahatan umum mereka. Orang yang meluangkan seluruh waktunya dan
bersungguh-sungguh serta tidak bercabang, untuk mewujudkan kemaslahatan dan
kemanfatan mereka. Hendaklah arah dan tujuan mereka semuanya satu, yaitu
menegakkan kemaslahatan agama dan dunianya”[21]
3. Tidak semua orang dapat
menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena orang yang menegakkannya harus
memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti mengetahui hukum-hukum syari’at,
tingkatan amar makruf nahi mungkar, cara menegakkannya, kemampuan
melaksanakannya. Demikian juga dikhawatirkan bagi orang yang beramar ma’ruf nahi
mungkar bila tanpa ilmu akan berbuat salah. Mereka memerintahkan kemungkaran dan
mencegah kema’rufan atau berbuat keras pada saat harus lembut dan sebaliknya.
4. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
الذِّيْنَ
إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِيْ اْلأَرْضِ أَقَامُوْا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ
وَأَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلهِ عَاقِبَةُ
اْلأُمُوْرِ
“(yaitu)orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan“. [QS. 22:41]
Imam Al Qurthubiy berkata,”Tidak semua
orang diteguhkan kedudukannya dimuka bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan
secara kifayah kepada mereka yang diberi kemampuan untuknya”[22]
Oleh karena itu Syeikh Islam Ibnu
Taimiyah menyatakan,”Demikian kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini tidak
diwajibkan kepada setiap orang, akan tetapi merupakan fardhu kifayah” [23]
Akan tetapi hukum ini bukan berarti
menunjukkan bolehnya seseorang untuk tidak berdakwah, atau beramar makruf nahi
mungkar. Karena terlaksananya fardhu kifayah ini dengan terwujudnya pelaksanaan
kewajiban tersebut. Sehingga apabila kewajiban tersebut belum terwujud
pelaksanaannya oleh sebagian orang, maka seluruh kaum muslimin terbebani
kewajiban tersebut.
Pelaku amar makruf nahi mungkar adalah
orang yang menunaikan dan melaksanakan fardhu kifayah. Mereka memiliki
keistimewaan lebih dari orang yang melaksanakan fardhu ‘ain. Karena pelaku
fardhu ‘ain hanya menghilangkan dosa dari dirinya sendiri, sedangkan pelaku
fardhu kifayah menghilangkan dosa dari dirinya dan kaum muslimin seluruhnya.
Demikian juga fardhu ‘ain jika ditinggalkan, maka hanya dia saja yang berdosa,
sedangkan fardhu kifayah jika ditinggalkan akan berdosa seluruhnya.
Pendapat ini Insya Allah pendapat
yang rajih. Wallahu a’lam.
Amar makruf nahi mungkar dapat menjadi
fardhu ‘ain, menurut kedua pendapat diatas, apabila :
Pertama : Ditugaskan oleh
pemerintah.
Kedua : Hanya dia yang
mengetahui kema’rufan dan kemungkaran yang terjadi. An Nawawiy berkata,
”Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar
fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu ‘ain, jika dia berada ditempat yang
tidak mengetahuinya kecuali dia”.[25]
Ketiga : Kemampuan amar makruf
nahi mungkar hanya dimiliki orang tertentu. Jika kemampuan menegakkan amar
makruf nahi mungkar terbatas pada sejumlah orang tertentu saja, maka amar makruf
nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain bagi mereka.
An Nawawi berkata,”Terkadang amar
makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain, jika berada di tempat yang tidak
mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau
anak atau budaknya berbuat kemungkaran atau tidak berbuat kema’rufan”.[26]
Keempat : Perubahan keadaan dan
kondisi.
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz memandang
amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain dengan sebab perubahan kondisi dan
keadaan, ketika beliau berkata, “Ketika sedikitnya para da’i. Banyaknya
kemungkaran dan kebodohan yang merata, seperti keadaan kita sekarang ini, maka
dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya”.[27]
Demikianlah amar makruf nahi mungkar
dalam tinjauan hukum Islam, mudah-mudahan hal ini mendorong kita untuk
melaksanakan dan menegakkannya dalam kehidupan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
05/Tahun VI/1423H/2002M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1].
Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Mungkar, hal 34. Kitab ini
telah diterjemahkan oleh al-Akh Abu Ihsan dengan judul yang sama, diterbitkan
Pustaka at-Tibyan, Solo.
[2].
Disarikan dari buku Hakikat Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil Mungkar, karya Dr.
Hamd bin Nashir Al Amaar, hal. 39-40 dan Makalah Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi Anil
Mungkar Bainal Ifraath
[3].
Lihat tafsir Al Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405
[4].
Lihat Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/453
[5].
Ibnu Hazm, Al-Fashl Fil Milal Wan Nihal, 5/19.
[6].
Al-Jashash, Ahkamul Qur’an , 2/486
[7].
An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/22.
[8].
Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/450.
[9].
Disarikan dari buku Hakikat Al-Amr Bil Ma’ruf wan-Nahi ‘Anil Mungkar, karya Dr.
Hamd bin Nashir Al-Amaar, hal.40-51dengan perubahan.
[10].
Lihat tafsir Al-Quran Al-Karim karya Ibnu Katsir 1/390
[11].
Ibnu Hazm, Al-Muhalla, 10/505.
[12].
Al Jashosh, Ahkamul Qur’an, 2/29
[13].
Al Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, 4/165.
[14].
Ibnu Qudamah, Mukhtashor Minhajul Qashidiin, hal.156.
[15].
An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/23.
[16].
Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil Mungkar , hal.37.
[17].
Asy Syathibiy, Al-Muwafaqaat Fi Ushulisy Syari’at, 1/126
[18].
Asy Syaukaiy, Fathul Qadir, 1/450.
[19].
Al Jashash, Ahkamul Qur’an, 2/29.
[20].
Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidiin, hal 156.
[21].
As Sa’diy, Taisir Karimir Rahman, 3/315, lihat Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar,
hal. 43.
[22].
Al Qurthubi, Tafsir Qurthubi, 4/165.
[23].
Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf wan Nahi ‘Anil Mungkar, hal.37.
[24].
Al Mawardi, Al Ahkam Sulthaniyah, hal.391, dinukil dari Hakikat Amar Ma’ruf Nahi
Mungkar hal.50.
[25].
An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 2/23.
[27].
Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, Ad Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hal.
16.
Disalin dari Sumber Artikel; Almanhaj.or.id
Penulis; Rachmat.M.Flimban